Saturday, March 28, 2009

My life is full of shiT..ESIS

Woaah..., akhirnya setelah berjibaku selama beberapa minggu, kelar juga ujian kompre-horor hari Jum'at tanggal 20 Maret 2009 lalu. Dengan ditonton oleh beberapa orang saja (soalnya yang laen pada telat n gak boleh masuk ruangan sama dosen penguji, sukurin....hehehehe), akhirnya aku bisa kelar ujian kompre dengan KEBAKARAN JENGGOT......!!!!

Gimana nggak kebakaran jenggot, kalo kelar ujian kompre dosen penguji bilang penelitianmu kudunya nggak sesingkat itu, harus lebih lama lagi. Wuaduh..., bayanganku tentang Spanyol dan diriku pas diseruduk banteng pecah berkeping-keping luruh ke lantai (weiss...).

"Tambah lama, tuh tambahnya berapa lama, ya, Pak?" Tanyaku innocent dengan detak jantung yang berdentam-dentum.

Ketiga dosen pengujiku menatapku macam ngeliat orang idiot yang berhasil ujian kompre pertama kali dari angkatannya (gimana tuh jadinya?).

"Ya, sesuai sama teorinya yang kamu pakai."

Duh, harus muter otak. Jangan sampe eh jangan sampe rencana liburanku gagal. Not this time. Masak sudah sampe bolak-balik ke kantor imigrasi buat memperpanjang paspor, dikirain TKI petugas imigrasi (padahal pas itu aku lagi gak bawa kardus mie instan trus baju ama sepatuku matching lo), n ngurus bermacam tetek-bengek laiinya, masak ya gak jadi pergi sih? No way.

Akhirnya meski keluar dari ruang kompre dengan muka lesu, gotta suck this up and move on (but not quite yet). Belum meredakan gemuruh di dada, melesatlah diriku ke Fakultas Hukum untuk ngisi pelatihan jurnalistik di sana. Meski kecewa n panik setengah mati bakal lulus lebih lama dari rencana, aku kudu nepati janji jadi pembicara di Fakultas Hukum dunk. Profesional ceritanya.... Jangan sampe perasaan pribadi mencampuri profesionalisme, terutama kalo lagi butuh duit (weiss..)

Meski pas jadi pembicara mukaku ketekuk-tekuk n banyak bengongnya, untungnya aku sukses menyelesaikan tanggung jawabku. Tapi ternyata tanggunganku nggak hanya berhenti di situ aja. Besoknya aku kudu ngisi di dua acara. Ya ampun, kebayang nggak sih harus berbicara di muka umum pada saat hati tengah berkabung? Jadi tahu perasaan Dewi Persik pas lagi manggung padahal baru aja dicerai deh. Asal....

Akhirnya setelah masa "mengejar setoran" itu selesai, aku bisa fokus ke revisi proposal tesis. Duh, kayaknya kudu ganti beberapa nih. Tapi setelah aku ganti beberapa hal, KOK MALAH JADI SEMUANYA IKUT BERUBAH.....?!

Trus aku bandingin ama proposalku yang lama, revisiku ini beda banget. Judul beda, latar belakang beda, teori beda, intervensi gak nyambung, pengukuran beda. Dari proposal awal sampe proposal revisi yang sama cuma dua doang : jenis font ama ukuran font (kalo itu diitung aspek penting dalam tesis)... Aku gak bisa bayangin gimana ekspresi muka dosen pengujiku kalo tahu aku ganti banyak. Masih mending kalo mereka cuma bilang, "Ini revisi apa revolusi?", lha kalo tersinggung trus malang mutung piye?

Masak aku bilang "Pak, saya ini adalah spesimen manusia globalisasi. Pergantiannya serba cepat dan tidak terduga..." Gak bisa juga, kan? Keluh...

Jadi makanya kalo akhir-akhir ini aku malah keliatan makin sibuk, ya mohon dimaklumi. Soalnya aku kudu berusaha untuk lulus tepat waktu biar aku gak jadi batalin liburan. I need a vacation so bad. Tapi enggak liburan di Indonesia lah ya, kok kaya orang susah banget sih liburan kok cuma sekeliling Bali, Lombok, dan sekitarnya (kaya iklan Adzan Maghrib di TV)

Ya ampun, di saat menderita gini kok aku masih bisa sombong, ya?

Jangan-jangan karma niy?

Ya ampun...., tesis-tesis..... Belum juga dinikahi kok udah bikin kehidupanku menderita sih...?
Keluh....

Monday, March 16, 2009

Gala-(ng) Premiere Ujian Kompre Mapro Angkatan IV

Telah diketok palunya, telah ditalukan bunyi genderangnya (sing durung meh kompre rasah protes), bahwa mimpi-buruk-rangkaian-ujian-kompre-mahasiswa-magister-profesi-psikologi-UGM-angkatan-empat bakal dimulai besok jum'at jam setengah dua. Siapakah perawan yang dikorbankan dalam ritual kali ini, nggak lain n nggak bukan (jadinya apa ya?), adalah GALANG YANG KATA BANYAK ORANG MENDERITA NARSIS DAN WAHAM KEBESARAN INI.....

Setelah melewati masa-masa sulit, lorong-lorong panjang, dan jalan sarkem di siang hari..... setelah bertemu dengan dosen pembimbing yang sebenarnya baek hati tapi super sibuk, mematuhi birokrasi kampus yang kadang lebay, menanti Pak Gi yang sakit untuk minta surat keterangan lulus kuliah Teknik Penyusunan Tesis, akhirnya diriku diijinkan untuk ikut ujian KOMPREHORE sekaligus nyang pertama dari angkatanku. Ini adalah sebagai perwujudan tanggung jawab sebagai ketua angkatan biar memberikan contoh tauladan bagi para teman-teman, kacung, serta peliharaannya.... , dan juga menunjukkan perilaku ksatria seperti : MENINGGALKAN KAMPUS DAN TEMAN-TEMANNYA LEKAS-LEKAS UNTUK PERGI BELANJA DI SPANYOL DAN PERANCIS. Huahahahahahaha... (setan).

Anehnya, ketika ditanya beberapa orang bagaimana perasaanku akan menghadapi ujian kompre dalam hitungan beberapa hari, aku malah bengong.... Biasa aja lagi... Ditanya-tanya lagi oleh beberapa orang seakan ingin menemukan sesuatu, "Kamu nggak deg-deg-an gitu?"

Aku nanya balik, "Emang harus ya kompre pake deg-deg-an....?" Pake pasang ekspresi muka bego-bego mahasiswa yang terancam cum-laude gitu.... Oh ya, tapi bener juga ya kata temenku.., biar agar dramatis mungkin memang aku harusnya deg-degan... Jadi sampai sekarang aku lagi cari tahu gimana caranya bikin deg-degan... Mungkin dengan deg-degan dulu presentasiku di depan dosen jadi tambah bagus kali, ya? Semoga....

Tapi ya nggak papa, pokoknya nambah-nambah bacaan aja deh biar makin siap. Entah deg-degan entah nggak, dipikir ntar aja..

Monday, March 9, 2009

Slumdog Millionaire


Jujur, aku bukannya penggemar film India. Dari yang kutahu kalo mau nyewa VCD film India, biasanya ada tiga keping: satu buat cerita, satu buat nari-nari di tengah hujan, satu buat nangis-nangis. Tapi bagaimanapun juga, sampai saat ini aku masih berpendapat kalo film India cocok buat terapi emosi. Atcha..atcha...atcha.. (sambil geleng-gelengin kepala).

Film Slumdog Millionaire yang konon udah nyabet 8 piala Oscar emang beda dari tipikal film India yang biasanya. Kalo di film India adegan narinya ada di tengah dan nyaris sepanjang film, kalo di film garapan Danny Boyle adegan narinya.......ada di akhir film (gyahahaha sama aja dunk...). Dan tahukah Anda siapa Danny Boyle itu? Dulunya saya juga nggak tahu. Soalnya kayaknya tuh orang terkenal soalnya pas Acara Penghargaan Piala Oscar -yang kebetulan aku tonton- orang-orang pada tepuk tangan ketika nama Danny Boyle dibacakan. Dan setelah aku google, ternyata Danny Boyle itu adalah sutradara dari film Sunshine, 28 Days Latter, dan The Beach (yang diperankan oleh Leonardo diCaprio dan lokasi shootingnya di pulau terpencil di Thailand). Pantas, film-filmnya memang revolusioner. Nggak heran banyak orang yang menaruh hormat pada lelaki satu ini.

Back to movie, Guys. Jadi Slumdog Millionaire ini menceritakan pengalaman seorang anak yatim-piatu berusia 18 tahun bernama Jamal Malik yang berasal dari Mumbay India. Jamal dan kakaknya, Salim, bersama-sama dengan Latika, ketika kecil berhasil melarikan diri ketika di kampungnya terjadi pembantaian terhadap etnis India Muslim. Dalam tragedi itu, orang tua ketiga anak malang itu dibunuh dengan keji.

Nah, ketiga anak itu kemudian bertemu dengan seorang laki yang sekilas tampak baik, yang menampung anak-anak yatim piatu, memberinya tempat tinggal, dan juga makanan. Tapi ternyata lelaki itu hanya memanfaatkan anak-anak itu untuk mengemis, dan hasilnya dipakai untuknya. Lelaki dan komplotannya itu bahkan tega membuat buta anak-anak malang itu agar mereka mendapatkan banyak uang.

Film Slumdog Millionaire dimulai dari adegan flash-back ketika si Jamal Malik ini mengikuti kuis Who Want's to be A Millionaire yang berhadiah 20 juta Rupee (gak pake "-ah"). Penonton dibuat terbuai (duh bahasanya..) oleh kepiawaian Jamal menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan. Kesuksesan Jamal mengundang kecurigaan host pembawa acara tersebut yang kemudian memerintahkan kepolisian untuk menginterogasi Jamal untuk membuktikan bahwa dirinya curang. Bagaimana mungkin seorang Jamal Malik, yang hanya seorang office boy yang bertugas mengantarkan minuman teh yang berwarna cokelat (kemungkinan itu adalah Coffemix, trust me I know the colour...), bisa menjawab pertanyaan yang sulit -yang bahkan profesor dan guru besar tidak dapat menjawabnya.

Pada saat interogasi tersebut, terungkaplah alasan bagaimana Jamal dapat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang ditanyakan tersebut ternyata berhubungan dengan fragmen kehidupan Jamal yang sungguh pelik. Jamal bukanlah seseorang yang jenius. Saya sangat ingat jawabannya yang lugas ketika ditanya oleh polisi, bagaimana bisa di menjawab semua pertanyaan yang diberikan di kuis tersebut.

Jamal menjawab, "Karena saya tahu jawabannya..." Keyeen....

Film itu sarat dengan ajaran moral namun hati-hati dalam menerjemahkannya. Kebetulan saya menonton film itu bersama adik saya. Dia berkomentar, "Wah ternyata nggak perlu sekolah tinggi-tinggi buat jadi sukses ya? Buktinya si Jamal..." Percayalah adik saya sedang meracau, dan saya yakin bukan itu maksud Danny Boyle menggarap film ini.

Film itu mengisahkan tentang kerja keras, perjuangan, integritas, dan semangat tak mudah menyerah. Melihat film ini dan khususnya setting tempat yang digunakan dalam film ini yaitu daerah perkampungan kumuh, saya jadi merasa tergugah untuk semakin mensyukuri kehidupan yang telah saya jalani, beserta segala suka dan dukanya. Sungguh saya tidak berhak mengeluh karena di luar sana ada banyak orang yang lebih membutuhkan ketimbang saya.

Film ini adalah film yang wajib Anda tonton. Beberapa adegan tampak klise, namun demikian sebagai penulis Anda bisa belajar sesuatu, terutama mengenai bagaimana cara alur cerita dibangun.

Thursday, March 5, 2009

Menulis untuk Pembaca

Terdapat garis perbedaan yang tegas antara aktivitas menulis sebagai hobi dengan sebagai profesi. Perbedaan ini sekilas terlihat remeh, namun titik awal ini akan menentukan nasib Anda sebagai seorang penulis. Seseorang yang menganggap kegiatan menulis sebagai suatu hobi akan menulis mengenai apa saja yang ingin mereka tulis. Apalagi sekarang kita dimanjakan dengan banyaknya fasilitas, misalnya online blog, membuat kegiatan menulis sebagai hobi menjadi mudah untuk dilakukan. Bahkan jika beruntung, Anda bisa menjadi tenar seperti Raditya ”Kambing Jantan” Dika yang sukses mengangkat kisah hidupnya sebagai seorang pelajar yang bodoh :)

Seseorang yang menulis sebagai profesi biasanya lebih selektif dalam menulis. Ketika kita bicara mengenai profesi di sini, artinya adalah kegiatan menulis tersebut memang sengaja dilakukan guna mendapatkan keuntungan secara finansial. Salah satu contoh penulis yang paling bisa mewakili kategori ini adalah Andrea Hirata. Saya pernah sekali mengikuti acara diskusi penulis dengannya. Saat itu saya mendengar satu buah kalimat yang menyentak hati saya.

”Saya tidak akan menulis buku yang tidak akan laku di kalangan pembaca”

Pertama kali saya mendengar, satu hal yang terlintas di benak saya, yaitu betapa komersilnya penulis ini! Tetapi setelah saya camkan baik-baik, perkataan itu ada benarnya juga. Bahkan malah itu adalah perkataan paling jujur dan telanjang yang bisa dikatakan oleh seorang penulis profesional. Mengapa pula kita mau bersusah payah menghabiskan waktu kita berkutat di hadapan komputer atau mesin tik apabila buku yang kita tulis tidak laku dan dibaca banyak orang? Mungkin Anda mengelak bahwa Anda menulis bukan semata-mata karena rupiah, namun membayangkan berapa puluh bahkan ratus jam kita habiskan untuk menulis buku yang sedetik pun pembaca meliriknya pun ogah, benar-benar mengesalkan!

Jika Anda menulis sebagai suatu hobi, Anda tidak perlu pusing-pusing memikirkan tentang hal ini. Tuliskan apa saja yang membuat Anda senang atau lega. Namun jika Anda adalah seorang penulis profesional, bukan kebahagiaan Anda lah yang terpenting, melainkan pembaca. Banyak rekan-rekan sesama penulis saya yang mengeluh betapa penghasilan penulis di Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan penulis di luar negeri. Di sisi lain, teman-teman editor saya di beberapa penerbitan juga sering mengeluhkan kelakuan para penulis yang suka seenaknya, menulis asal-asalan hanya karena sudah pernah menerbitkan satu atau dua buku sebelumnya, dan terkesan tidak perduli. Masing-masing saling menyalahkan satu sama lainnya. Kecenderungan penulis di Indonesia beranggapan bahwa menulis adalah suatu aktivitas yang tidak bisa dipaksakan. Menulis baru bisa dilakukan apabila kondisi mental, fisik, dan lingkungan di sekitarnya mendukung. Tak jarang hal itu malah disalahartikan. Alih-alih menjadikannya sebagai suatu rutinitas, kegiatan menulis menjadi suatu kegiatan yang bisa dilakukan kapan-kapan dan bahkan dengan sambil lalu. Pantaskah kemudian jika penulis tersebut mengeluh tentang penghasilan yang didapatkan tidak lebih besar daripada bekerja di kantor?

Karyawan mendapatkan penghasilan besar dengan bekerja, dan penulis yang menulis sambil lalu tidak akan mendapatkan penghasilan lebih besar daripada karyawan. Di manakah letak ketidakadilannya? Penghasilan yang tidak seberapa ini lantas menjadikan banyak penulis pemula yang menyerah lantas memutuskan untuk banting stir dan meninggalkan dunia kepenulisan atau masih menulis tetapi dengan ogah-ogahan. Ini adalah suatu pola pikir yang salah. Seseorang bisa menjadi penulis yang hebat jika memiliki kedisiplinan dan integritas. Mengenai hal itu akan kita bahasa pada bab yang terpisah.

Anda hanya perlu (setidaknya) satu buku untuk membuktikan bahwa perkataan saya benar. Yang Anda butuhkan hanya satu buku yang mengakhiri masa suram seorang penulis. Sebuah buku best-seller. Anda tidak harus ahli dulu untuk bisa menjadi penulis ­best-seller, Anda hanya harus tahu rahasianya

Mungkin pada detik-detik ini Anda berkata dalam hati, bahwa yang paling penting bagi Anda saat ini adalah menulis apa saja, karena nanti buku Anda akan menjadi best-seller jika kemampuan menulis Anda semakin terasah.

Hentikan! Itu adalah omong kosong, dan dalam hati Anda sebenarnya tahu itu, bukan?

Andrea Hirata adalah contoh yang paling ideal dalam menggambarkan maksud saya. Beliau mengaku tidak pernah menulis cerita fiksi sebelumnya, bahkan membaca buku fiksi pun hanya bisa dihitung dengan jari tangan. Dengan keterampilan menulis yang cekak dan tertatih-tatih tersebut, bagaimana mungkin bukunya bisa menjadi best-seller? Jika Anda menganggap bahwa Andrea Hirata adalah anomali, atau lebih buruk lagi orang yang beruntung, Anda salah besar! Andrea Hirata mungkin bukanlah seorang penulis kaliber yang banyak menyabet gelar juara di mana-mana, namun dia adalah seseorang yang benar-benar memahami bahwa tugas seorang penulis profesional adalah menjual buku.

Ya, sesederhana itu: Menjual Buku.

Lalu apakah kita akan sukses menjual sesuatu yang bagus bagi kita namun tidak bagi orang lain? Jawabannya tentu saja tidak. Oleh karenanya penulis biasanya butuh penerbit dan sepasukan editor yang bertugas menjaga agar penulis tidak terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Tidak banyak penulis yang bisa memahami bahwa penerbit sebenarnya membantu penulis yang bersangkutan bagaimana caranya agar buku yang ditulisnya diminati oleh pembaca. Tidak semua penulis yang bisa memahami pola pikir pembacanya. Masih banyak yang berpikiran bahwa untuk menjadi penulis diperlukan kecerdasan verbal dan kepiawaian dalam merangkai kata, itu saja. Faktanya, pembaca tidak akan menilai karya Anda seperti guru Bahasa Indonesia SMA menilai karangan narasi. Pembaca awam tidak akan terlalu perduli majas apa yang Anda pakai atau apakah setiap kalimat Anda diakhiri dengan rima bersajak. Kalimat yang indah bisa menjadi daya tarik sebuah karangan fiksi, namun jika Anda hanya berbekal itu saja untuk maju perang, bersiaplah pulang dengan membawa kekalahan.

Lantas, bagaimana cara kita menjual buku? Apakah kita harus membuat buku yang sangat bagus?

Apakah menurut Anda, kita bisa menjual mobil Porsche kepada orang-orang yang tinggal di pedesaan?

Tidak.

Jawabannya, adalah menjual buku yang dibutuhkan oleh pembaca. Itulah rahasia mengapa Andrea Hirata sukses “menjual” tetralogi Laskar Pelangi-nya. Pembaca menginginkan harapan dan cerita nyata mengenai sekelompok anak yang kurang beruntung secara finansial namun berjuang sekuat tenaga menjadi sukses dalam hidupnya. Cerita Ikal dan teman-temannya mengajarkan kita semangat dan sikap yang tak pernah putus asa. Cerita perjuangan diminati pembaca karena selalu dapat membangkitkan semangat, dan hal itulah yang dibidik Andrea Hirata dalam tetralogi-nya. Jadi bukanlah kebetulan jika novel-novelnya meledak. Si penulisnya telah merencanakan serta kemudian mewujudkannya. Secara sosial, novel itu jika diterima oleh kalangan pendidik dan orang tua karena menyampaikan ajaran moral, sehingga rekomendasi untuk membaca novel itu merupakan media promosi terbesar. Novel tersebut dengan cerdas telah diletakkan dalam posisi yang strategis agar orang-orang menyukainya sekaligus “merasa seharusnya” memberikan dukungan. Apa yang terjadi setelah novel itu dirilis? Koran-koran beramai-ramai memuat kisah tentang guru honorer yang tak jelas juntrungan nasibnya sebagai feature atau sekolah-sekolah di daerah terpencil yang kondisinya memprihatinkan. Bayangkan bagaimana sebuah novel bisa memunculkan gelombang kepedulian yang sedemikian hebatnya.

Bagaimana cara sebuah karangan fiksi bisa menciptakan kesadaran kolektif seperti itu? Hal itu akan saya bahas di bagian terpisah dalam buku ini. Untuk saat ini saya harap Anda mengerti bahwa tidak perlu sehebat Ernest Hemingway untuk menghasilkan karya best-seller. Anda bisa mulai dengan menyadari satu hal mendasar yang penting, yaitu: menuliskan apa yang dibutuhkan oleh pembaca Anda.

Siapakah pembaca Anda? Sebelum kita berbicara banyak tentang hal-hal yang menyangkut teknis kepenulisan, sebaiknya Anda menentukan dulu siapa target pembaca Anda. Pembaca akan menentukan ruang lingkup permasalahan, cara memandang permasalahan dan hal-hal teknis lainnya seperti gaya bahasa dan penokohan. Setiap target pembaca memiliki kecenderungan tertentu yang harus Anda tangkap. Target pembaca remaja SMA misalnya, memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai karangan yang membahasa permasalahan sehari-hari dengan gaya bahasa yang konyol, cuek, dan dinamis. Target pembaca dewasa awal, seperti misalnya mahasiswa, lebih menyukai karangan yang lebih berbobot, seperti misalnya karangan yang juga turut membahas seputar isu sosial. Buku bagi kalangan mahasiswa adalah suatu identitas, sehingga penting bagi mereka untuk meyakinkan bahwa mereka tidak akan dinilai negatif oleh orang lain karena membaca karangan yang salah.

Setelah Anda memutuskan siapa target pembaca Anda, berikut adalah tugas mandiri yang bisa Anda lakukan.

Temukan tiga buah isu atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh target pembaca Anda. Caranya bermacam-macam, bisa dengan melakukan wawancara kepada beberapa sampel target pembaca, membaca koran atau siaran berita, atau berangkat dari suatu studi kasus.

  1. ­­­­­­­­­­­­­­­_______________________________________________________________

_______________________________________________________________

  1. _______________________________________________________________

_______________________________________________________________

  1. _______________________________________________________________

_______________________________________________________________

Selanjutnya, Anda menelaah ketiga permasalahan tersebut satu-persatu menggunakan kerangka alur berpikir berikut ini:

Isu #1

Mengapa isu atau permasalahan ini bisa jadi sedemikian penting?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Isu #1

Seberapa besar kerugian yang bisa ditimbulkan?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Dua pertanyaan tersebut memungkinkan Anda untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai dampak atau akibat dari permasalahan tersebut. Dampak atau akibat inilah yang bisa Anda jadikan senjata untuk mempertajam karya fiksi Anda. Sebagai seorang penulis, Anda diharapkan untuk dapat menyampaikan dampak dari permasalahan ini kepada pembaca serta pentingnya bagi mereka untuk perduli. Begitu Anda dapat meyakinkan pembaca pentingnya suatu permasalahan, seketika itu pulalah karya Anda mendapat tempat di hati pembaca.

Marilah kita mencermati iklan-iklan yang sering bersliweran di layar televisi Anda. Salah satu iklan yang paling kentara adalah iklan produk shampo anti ketombe. Iklan-iklan ini umumnya memiliki kesamaan, yaitu menunjukkan akibat yang ditimbulkan jika seseorang memiliki ketombe, misalnya: membuatnya tidak menarik di mata lawan jenis, menimbulkan ketidakpercayaan diri, dan lain-lain. Mungkin sebelum melihat iklan tersebut, seseorang tidak pernah mempersoalkan masalah ketombenya. Segera setelah melihat iklan tersebut, seseorang menjadi tergerak untuk membeli produk shampoo tersebut karena khawatir akan mengalami hal sama yang ditunjukkan iklan tersebut.

Jika kita cermati, pada umumnya iklan memiliki pola cerita yang sama. Iklan kartu GSM menyoroti borosnya pemakaian pulsa jika tidak memakai produk keluaran miliknya. Hal ini adalah suatu hal yang dikenal secara luas di dunia pemasaran sebagai strategi untuk memunculkan kesadaran konsumen akan suatu kebutuhan. Terkadang konsumen memiliki kebutuhanyang selama ini tidak disadarinya. Adalah tugas bagi seorang ahli periklanan atau pemasaran untuk memunculkan kebutuhan tersebut pada area kesadaran, dan kemudian menyodorkan suatu produk sebagai suatu solusi. Dalam psikologi konsumen hal ini dikenal sebagai prinsip ego-defense purchasing, yaitu membeli karena seseorang percaya produk yang dibelinya adalah solusi bagi permasalahan yang dihadapinya.

Berhenti sampai di sini, kita kembali mencermati karya kita. Tidak kemudian setiap penulis diharuskan untuk menyodorkan solusi atas isu yang digarap dalam karyanya. Penulis berbeda dengan ilmuwan. Bisa jadi yang dibutuhkan penulis adalah seorang ilmuwan yang tepat, yang dengan membaca karangannya menjadi terketuk hatinya untuk kemudian menyajikan solusi. Membangkitkan kepedulian bukanlah tugas yang mudah. Seorang penulis fiksi yang handal umumnya mahir dalam hal ini.

Pertanyaan selanjutnya terkait dengan topik permasalahan yang Anda garap adalah sebagai berikut:

Isu #1

Siapakah pihak yang paling dirugikan?Mengapa?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Dengan menjawab pertanyaan tersebut, tandanya Anda mulai masuk ke dalam area personal permasalahan yang akan Anda garap. Informasi pihak yang paling dirugikan dan alasannya membantu Anda untuk menentukan sudut pandang karangan Anda. Apakah Anda akan menceritakannya dari sisi pihak yang paling dirugikan dari suatu permasalahan, atau memilih sebagai pihak lain yang berada di dekat pihak tersebut? Setelah sudut pandang penceritaan ditentukan, Anda diharapkan untuk fokus dalam mencermati permasalahan sehingga daya cakupnya semakin mengerucut: tidak melebar namun dalam.

Jika Anda telah memutuskan pihak yang paling dirugikan, Anda dapat kemudian memfokuskan untuk meneliti hal-hal yang sifatnya unik dan pribadi. Hal-hal ini diperlukan untuk membangun keotentikan karya Anda, serta agar pembaca benar-benar masuk ke dalam dunia yang Anda bangun. Pembaca tidak akan tertarik untuk membaca sesuatu yang sifatnya hanya sekedar tempelan. Ketika seseorang membeli buku, sebenarnya tidak hanya uang yang mereka telah keluarkan, namun juga waktu yang akan mereka habiskan untuk membaca buku ini. Uang mudah dicari gantinya, namun waktu yang terbuang tidak akan kembali. Pembaca mungkin tidak akan menyayangkan uang yang telah dihabiskan untuk membeli buku, tetapi waktu yang telah mereka habiskan untuk membaca bab-bab pertama. Jika buku tersebut tidak menarik dan terkesan pasaran, kemungkinan pembaca tidak akan meneruskan membaca buku tersebut sampai habis. Pembaca tidak akan sudi menukar waktu mereka yang berharga dengan buku yang isinya kebanyakan. Tidak ada orang yang mau bertaruh jika tahu dirinya bakal kalah.

Oleh karenanya, ciptakan buku yang selain dapat memenuhi kebutuhan pembacanya juga bersifat unik. Unik bukan berarti nyeleneh atau kontroversial. Keunikan bisa pula berarti dalam; yaitu suatu buku lahir melalui proses pemikiran, investigasi, serta kontemplasi yang dalam. Keunikan juga dapat diartikan sebagai sejauh mana penulis dapat mendekati permasalahan yang akan ditulisnya.

Menulis sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca adalah salah satu resep menelurkan buku best-seller. Buku tersebut akan menjadi lebih dahsyat apabila di dalamnya tersirat keseriusan dan kerja keras penulis dalam mewujudkannya, salah satunya dengan cara memberikan sesuatu yang unik dan karenanya sebanding dengan waktu yang dihabiskan untuk membacanya.

Orang-orang sering berkata melahirkan atau menelurkan karya. Pernahkan terlintas di pikiran Anda mengapa kata yang identik dengan ”melahirkan” digunakan?

Karena sejatinya, penulis diharapkan dapat menghasilkan suatu karya yang telah ditunggu-tunggu dan dirindukan, sama halnya dengan bayi yang akan terlahir di dunia. Bayi sering melambangkan harapan. Seperti itulah fiksi Anda seharusnya menjelma.Menulis