Thursday, February 26, 2009

Kok felem-felem di bioskop pada garing ya??

Udah dua bulan lebih aku gak nonton felem di bioskop 21. Habis, filimnya kalo gak Kutukan Sumpah Pocong ya Kutukan Sumpah Kepang Kuda (hehehehe, sumpah ngawurnya). Tapi ya nggak juga sih, ada beberapa felem Indo, tapi berhubun aku sering dikecewain ama felem Indo, so mo nonton juga males....

Salah, ya, seharusnya aku harus lebih cinta produksi dalam negeri, ya? Bukannya gak cinta lho, tapi cintaku ini emang conditional love. Asal bermutu ya aku cinta, gitu. Huuh, padahal aku nunggu-nunggu Valkyrie, Slumdog Millionaire, Bride Wars, The Reader, Milk, atau The Curious Case of Benjamin Button, tapi mana nih felemnya gak dateng-dateng ke Yogya?! Sambel, padahal aku di udah tahu promonya di TV udah sejak lama (maklum TV-ku kan pake Indovision), tapi tahunya nyampe di kota sendiri masih boabo luamanyoo.. ampe bosen. Ya maka dari itu untuk sementara review felemku mandeg, soalnya udah jarang nonton lagi...

Btw, aku baru aja nonton Penghargaan Oscar yang paling baru (di TV lokal udah disiarin belum ya?). Nah biasanya tuh kalo pas diumumin pemenang kan semua orang bersuka cita, eeh taon ini agak-agak sendu gitu. Pas diumumin Pemenang untuk Aktor Pendamping terbaik, and yang menang Heath Ledger (nyang meninggal karena salah makan obat) di felem Dark Knight, semua langsung pada mau nangis (aku juga, apalagi setelah ngeliat Angelina Jolie nangis -pan sehati). Kalo ikutin gosip internasional, tuh aktir kan meninggal setelah minum resep obat anti depresan gara-gara stress meranin tokoh Joker di Dark Knight. N emang sih peran Heath jadi Joker nih ciamik banget, sampe aku tuh merinding bayangin kalo Joker bener-bener ada trus dunia gimana ya? Abisnya sosoknya tuh sadisnya kagak kira-kira!

Kalo belum nonton Dark Knight, rugi abis! Makanya kudu nonton, cepetan! Trus felem terbaik Slumdog Millionaire nyang ambil setting di India. Akhirnya bisa juga felem bersetting Asia nyabet penghargaan felem terbaik versi Oscar. Ikut bangga rasanya.

Oh ya balik lagi ke felem-felem di bioskop, diriku masih menunggu kepastian felem-felem yang spektakuler itu diputer di bioskop Yogya. Ya, sampai sekarang aku hanya bisa berharap. Semoga eh semoga gak harus sampe beli DVD bajakannya lagi di Jalan Mataram...

Wednesday, February 25, 2009

Nasib Dunia: Di Ujung Tanduk atau di Ujung Pena?

Penulis adalah segelintir orang yang bisa membuat perubahan pada dunia, paling tidak itu yang saya yakini hingga saat ini; dan menjadi sosok tersebut adalah cita-cita saya. Bagaimana tidak? Menghasilkan karya yang akhirnya akan dibaca orang lain sama halnya dengan menanamkan bibit pemikiran atau setidaknya renungan, yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan orang tersebut. Pertemuan dengan orang yang istimewa, seberapapun singkatnya, tidak akan membuat kehidupan kita sama lagi. Begitu halnya dengan membaca karya tulis yang istimewa. Dunia dan hidup seseorang, ibarat lingkaran yang selalu berputar. Hidup senantiasa berubah. Mengapa tidak membuat karya tulis sebagai motor penggeraknya?

Apakah semua karya tulis bisa mempengaruhi kehidupan seseorang? Tentu saja tidak semua. Hanya karya-karya tertentu lah yang bisa. Karya tersebut punya misi untuk mengubah. Karya seperti itu tidak semata-mata lahir dari kepiawaian seseorang dalam teknis penulisan atau bahkan lahir dari himpitan ekonomi, melainkan lahir dari keresahan pribadi seorang penulis. Seorang penulis harus menemukan permasalahan apa yang dihadapi oleh dunia sekaligus apa yang ada di dalamnya, lalu menuliskan pemikirannya mengenai “bagaimana sesuatu menurut saya dapat membantu menjawab permasalahan tersebut atau setidaknya meringankan penderitaan yang disebabkannya?”

Di sini saya menekankan kata “apa yang menurut saya....”, karena penulis bukanlah seseorang yang bisa menuliskan resep bagi penyakit dunia. Butuh kumpulan ilmuwan, jenius, dan pemikir besar untuk menjawab permasalahn global. Yang dilakukan oleh penulis terkadang hanyalah cukup menyentil pembaca, dengan pertanyaan terbuka dan tak terduga, sehingga menyebabkan pembaca yang sejatinya sehat tiba-tiba “merasa sakit”, dan atau sebaliknya orang yang sakit tiba-tiba merasa “sehat”. Inilah yang saya sebut dengan perubahan, yaitu: membawa seseorang ke ruang pemikiran dan imajinasi yang selama ini tidak pernah disinggahinya. Dari sentilan-sentilan kecil itu akan muncul sebuah gelombang yang besar yang akhirnya memiliki daya pengubah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita? Percayalah, jika si dukun cilik Ponari bisa menyembuhkan dengan batu kali, Anda pasti bisa melakukannya dengan lebih baik menggunakan pena

Tuesday, February 24, 2009

Main Tenis itu yang Sabar n Jangan Brutal......

Si salah satu klub tenisku (aku gabung di tiga klub tenis, if in case you were wondering...), ada fenomena yang lucu tapi kadang ngeselin juga. Jadi gini nih, lapangan tenis di tempat kami kan ada dua. Nyang satu lapangan biasanya diperuntukkan bagi para pemain senior (yang usianya uda di atas 50 tahunan n mainnya ya ampun cuma lempar-lempar bola asal nyampe ke lapangan lawan) n satu lagi lapangan khusus buat pemain yang berjiwa muda (yang gak jelas main tenis apa adu tenaga dalam. Prinsip permainannya: kalo bola gak jatuh ke lapangan kosong ya minimal jatuh ke badan lawan lah... brutal..). Nah seringnya pemain di dua lapangan itu lengkap dan biasanya saling nggak menganggu. Tapi ada beberapa hari salah satu lapangan kurang pemain, jadinya ya tetangga bisa gabung. Bisa dibayangin kekecauan yang terjadi.

Pemain-senior : "Mas kalo main nggak usah keras-keras ya, yang penting bolanya masuk dan nggak bikin lawan sakit..."
Pemain-junior : "Iya, Pak..." sambil batin mati aku!!
Trus giliran si pemain-junior mau mukul, si pemain senior teriak: "Sabar, sabar...."
Pemain junior batin, Ini main tenis apa main sabar?

Laporan pandangan mata menyebutkan bahwa ternyata meski udah senior dan mainnya relatif gado-gado antara maen tenis, badminton, n kasti dijadiin satu, ternyata para pemain senior ini paling gak suka kalah. Makanya kalo si pemain junior mukul bola, si pemain senior tuh yang ngewanti-wanti biar bolanya nggak sampe keluar lapangan. Jelas ini beban buat pemain junior yang emang hobi banget ngembat bola. Jadinya bukan main tenis, eh malah main sabar.

Jadi biasanya si pemain junior kebanyakan yang ngalah, meski kadang makan ati n misuh-misuh di dalam hati. Pokoknya ngalah deh demi pemain senior juga.., biar seneng. Nyenengin warga negara senior insya'allah banyak pahalanya.

Jadi biasanya, kalo aku mau main dengan pemain senior, biar sopan aku nanya dulu ke mereka,

"Pak, ini saya mainnya harus main pake pola permainan saya yang sekarang atau versi saya main lima puluh tahun lagi?"

Biasanya malah mereka yang geregeten sendiri dengernya. Tuh kan, aku salah lagi....

Delapan Kesalahan Umum dalam Membuat Dialog


Dialog dalam sebuah karangan fiksi berfungsi sebagai penggerak cerita selain berguna juga untuk memperkuat karakter tokoh dalam cerita. Selain itu, dialog juga dapat membuat cerita menjadi lebih dinamis. Dialog antar tokoh dalam cerita apabila dikemas bisa pula menjadi “cara halus” untuk menyampaikan pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui.

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang berhubungan dengan penulisan dialog:

1. Menulis dialog dengan kalimat-kalimat indah dan bersajak. Dialog semacam ini memang cocok bagi karakter tokoh yang memang suka berpantun, namun kurang tepat bila dikenakan pada tokoh yang hidup di lingkungan metropolitan yang berbicara serba ringkas dan cepat. Pelajaran pertama dalam membuat dialog adalah membuatnya tampak nyata seperti layaknya orang yang berbicara dalam konteks nyata. Untuk itu, penting kiranya bagi para penulis untuk aktif mendengarkan percakapan orang-orang serta dialek atau diksi apa yang sering diucapkan oleh orang-orang dengan suatu karakter tertentu. Perlu juga untuk melafalkan dialog Anda dengan suara keras untuk mengecek apakah dialog itu terdengar enak di telinga dan sudah seperti layaknya percakapan yang nyata.

2. Mengulang-ulang maksud dalam beberapa potong kalimat. Meskipun dialog sedapat mungkin dibuat agar nyata, namun dialog yang bertele-tele akan membosankan pembaca. Cukup membuat satu kalimat saja untuk menyampaikan sebuah maksud spesifik. Hal ini tentunya akan berlaku lain apabila Anda dengan sengaja ingin menciptakan kesan tokoh yang peragu atau obsesif kompulsif. Namun demikian, terlalu banyak efek justru akan berbalik menjadi bumerang bagi Anda. Dialog yang terlalu panjang juga akan menghambat pergerakan cerita. Jadi rumusnya, bijaksanalah dalam menuliskan dialog.

3. Tidak memperhatikan siapa yang berbicara apa. Sering kali kita mendapatkan beberapa dialog ditumpukkan tanpa menyebutkan siapa yang berbicara, seperti contohnya di bawah ini:

“Kamu kemarin pulang jam berapa?”
“Jam satu, kenapa?

“Oh, tidak aku hanya penasaran siapa yang membuka pintu kulkas sekitar jam sebelasan”

“Kamu yakin mendengar suara itu?”
“Ehm, iya. Tapi sekarang aku jadi agak ragu.”

“Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan hantu yang menjaga rumah ini?”


Ini sah-sah saja apabila kebetulan dialog itu hanya terjadi antara dua orang tokoh. Namun apabila tokoh yang ada lebih dari dua orang maka ceritanya jadi lain. Jika penulis tidak mencantumkan siapa yang berbicara, pembaca mungkin menjadi bingung untuk mengidentifikasi si pembicara. Namun terlalu banyak memberikan nama juga dapat menjemukan. Hal ini bias diakali dengan cara menyelinginya dengan tanda-tanda yang mengarah kepada totkoh tertentu. Seperti misalnya di bawah ini:

“Kamu pasti lupa membawa buku itu!” Tuduh Andi.

“Buku apa?” Tanya balik Rizal sambil memainkan rambutnya yang ikal.
“Buku harian Bu Nindi, Bodoh!” Andi tidak dapat menahan amarahnya.

“Oh itu…” Jawab si pemilik rambut ikal itu dengan enteng.


4. Menggunakan “dia” secara tidak cermat sehingga membuat pembaca bingung “dia” tersebut mengacu pada siapa. Hal ini sering terjadi pada dialog yang menceritakan beberapa orang. Ketika si tokoh mengatakan “dia” sebaiknya secara tepat mengacu pada sasaran yang dituju, seperti contoh di bawah ini:

“Kemarin aku bertemu dengan Dinda. Ia jalan sama cowok lain. Dito.., Na! Dito yang itu!!”
“Apanya yang heboh? Dia kan emang terkenal suka gonta-ganti pacar, kan?”

5. Melekatkan gaya berbicara yang sama kepada setiap tokoh. Tentunya setiap tokoh memiliki karakter unik. Keunikan itu juga salah satu di antaranya tercermin dari cara si tokoh tersebut berbicara. Penciptaan cara berbicara yang menjadi trademark, entah itu dari pemilihan diksi atau dialek, bagi seorang tokoh tertentu bisa membuat kehadirannya menjadi nyata.

6. Terlalu kaku dalam menggunakan narasi pengantar. Narasi pengantar yang umumnya digunakan adalah ”kata”, ”ujar”, ”tanya”, dan ”perintah”. Seperti contoh di bawah ini:

”Kita akan pergi besok,” ujar bapak.
”Pergi ke mana?” Tanyaku.

”Ke tempat kelahiran ibumu,” kata bapak.


Cobalah untuk mengeksplorasi istilah-istilah yang lain seperti misalnya: ”kilah”, ”lanjut”, ”potong”, ”tebak”, ”gumam”, ”bisik”, dll.

7. Menulis dialog terlalu panjang. Terkadang sebagai seorang penulis, kita tidak sabar untuk menyampaikan begitu banyaknya informasi kepada pembaca sehingga tanpa sadar dialog si tokoh jadi mengembang. Sebenarnya dialog yang panjang berpotensi besar untuk membunuh ketertarikan orang dalam membacanya tuntas. Panjangnya dialog juga bisa membuat suasana eksternal (setting, waktu, dll) yang coba untuk dibangun oleh si penulis menjadi kabur. Jika seandainya dialog memang dibutuhkan panjang, maka seyogyanya untuk memenggalnya menjadi beberapa bagian.

“Aku percaya ada beberapa orang yang ditakdirkan berbakat secara supernatural. Misalnya aku yang juga dianugerahi bakat cenayang. Namun aku pun masih tetap harus belajar untuk menajamkan kemampuanku. ....” Cassandra mengambil beberapa bendel dokumen dari dalam tas kerjanya.
“Menurut dokumen ini, ada beberapa macam cenayang –yang kutahu– dilihat dari cara mereka menangkap pesan dan mendeteksi keberadaan fenomena supernatural....,” sambung Cassandra. (Dipetik dari Novel ORB: Galang Lufityanto)


8. Hanya mengandalkan dialog saja untuk menciptakan situasi yang diinginkan. Penggunaan dialog yang terlalu sering, tanpa diselingin jeda penjelasan narasi, akan membuat alur cerita berjalan dengan cepat. Gaya seperti ini cocok untuk cerita detektif atau thriller. Namun untuk cerita yang sifatnya lebih umum, gaya seperti ini tidak selalu cocok. Kekurangan dari gaya dialog yang sambung-menyambung adalah kurang dalamnya pelukisan tentang situasi yang tengah terjadi. Contoh:

”Pak Hugo, mengapa Anda harus membawa..ta..tas itu? Bukannya malah semakin berat?” Tanya Roni merasa aneh melihat Hugo memanggul tas besar yang diikatkan dengan erat pada tubuhnya.
“Oh..., ini?” Hugo menjawab di sela-sela napasnya yang memburu.
“Kupikir ini akan bisa menyelamatkanku nantinya. Siapa tahu?”

Sementara itu mereka bertiga berlari semakin jauh ke dalam hutan. Malam sudah sedemikian pekat sehingga Hugo dan Rani hanya bisa mengandalkan senter dan Cassandra yang berlari mendehului mereka, dan yang secara tidak langsung telah membukakan jalan bagi mereka berdua. Cassandra melompati akar sebuah pohon yang melata lumayan tinggi di atas permukaan tanah dengan lihai seakan-akan hutan ini adalah taman bermain Cassandra sejak kecil. Hugo dan Roni lagi-lagi dibuat terpukau oleh kemampuan wanita ini.
”Seno!!” Teriak Cassandra.

Sayup-sayup terdengar suara. ”Di sini.....” (Dipetik dari Novel ORB: Galang Lufityanto)

Dengan menyelipkan beberapa pokok narasi (dalam contoh: Sementara itu mereka.....) di antara baris-baris dialog, pembaca dapat melihat adegan cerita sebagai suatu keseluruhan: karakter beserta situasi di sekelilingnya. Ini membuat pembaca mendapat bayangan yang jelas tentang adegan yang berlangsung dan merasakan emosi yang berusaha dibangun oleh si penulis. Jadi, selamat mencoba ya!

Bagaimana Cara Membuat Paragraf Pembuka yang Baik?

Banyak penulis yang masih beranggapan paragraf pembuka itu seharusnya berisi ilustrasi tempat dan kapan sebuah cerita itu terjadi. Hal ini memang penting agar pembaca paham ruang lingkup dan batasan cerita yang akan dibaca. Namu hal itu tidak selalu harus berlaku demikian. Beberapa penulis, yang lebih kreatif dan menyadari bahwa paragraf pembuka itu adalah seperti halnya "etalase" yang berfungsi untuk menarik perhatian pembaca, melakukan usaha ekstra dalam memodifikasi paragraf pembukanya. Alih-alih menggunakan metode konservatif, penulis cerita model terakhir ini menyisipkan unsur suspense, kontras/paradoks, pernyataan "yang menggelitik", dan humor ke dalam paragraf pembukanya. Berikut ini adalah beberapa contoh:

Tidak ada yang pasti apa penyebab kematian Marry Joe. Banyak orang yang menyangka dirinya mati karena bunuh diri. Namun hal itu bertentangan dengan fakta yang ada, mengingat dirinya baru saja mendapat warisan dari ayahnya sejumlah beberapa milyar rupiah. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Marry Joe dibunuh. Namun hal itu nyaris mustahil karena dirinya mati dalam keadaan kamar yang pintu serta jendelanya terkunci dari dalam. Dan ketika dirinya diketemukan mati, tidak ada orang lain yang berada di dalam ruangan itu bersamanya (suspense)

Sosok laki-laki itu benar-benar menarik perhatian. Ada yang salah pada dirinya entah disadari atau tidak olehnya. Caranya berpakaian menyiratkan bahwa dirinya tengah berperang dengan persepsi dirinya tentang usia. Celana jeans belel yang koyak di bagian lututnya serta kaos ketat yang dikenakannya benar-benar tidak pas dengan keriput-keriput pada wajahnya. Entah apa yang ada dalam benak laki-laki tua itu. (kontras)

Jika saja hidup ini segampang matematika, mungkin tak banyak orang harus terluka. Jika saja semua orang tahu bagaimana rumus mendapatkan hidup bahagia, mungkin saat ini aku bisa mengepak koperku dan terbang ke Bali untuk berlibur barang seminggu saja. Liburan hanyalah impian. Atau bahkan utopia untukku. Ketika aku berharap bisa mendapatkan waktuku sendiri, ada saja orang yang mengetuk pintu biro konsultasiku untuk memintaku menolong hidupnya. Satu yang mereka mungkin tidak tahu. Diriku pun butuh pertolongan juga. (pernyataan yang menggelitik)

Jika Anda merasa kurang nyaman dengan metode di atas dan lebih menyukai cara konvensional, yaitu dengan menggambarkan setting berlangsungnya cerita, maka setidaknya terdapat dua hal yang bisa Anda lakukan agar paragraf pembuka Anda tidak terkesan klise, yaitu: (1) memunculkan sesuatu yang ada padahal seharusnya tidak ada (seperti misalnya: pistol di laci meja guru) dan (2) menghilangkan sesuatu yang seharusnya ada (misalnya: sebuah keluarga yang anaknya hilang). Dengan cara itu pembaca akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam cerita ini. Hal itulah yang kemudian akan membuat pembaca untuk mulai membaca cerita Anda. Selamat mencoba!

Cara Membuat Judul Yang Baik


Beberapa orang berpendapat bahwa membuat judul untuk sebuah karangan fiksi itu sulitnya bukan main, tetapi ada juga beberapa orang yang berpikir sebaliknya. Judul suatu karangan, sederhananya memiliki fungsi untuk merepresentasikan garis besar cerita, apa yang membedakannya dengan karangan yang lain. Judul karangan adalah taruhan bagi seorang pengarang. Judul karangannya yang menarik dan eye-catching namun tetap tidak norak, akan membuat pembaca tertarik untuk membaca keseluruhan cerita. Namun demikian, judul tidak melulu tentang bagaimana cara membuat pembaca tertarik untuk membaca cerita Anda. Judul harus benar-benar dapat memberi batasan kondisi “here and now” cerita Anda pada pembaca. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa judul juga berfungsi untuk menyetel “mental set” pembaca agar lebih siap dalam menikmati karangan Anda. Beberapa judul telah secara tidak langsung memberi tahu pembaca seperti apa karangan yang akan mereka baca, contohnya: “Misteri Pembunuhan Si Pendekar Kampus”, “Bangkit dari Kubur, “Cintapuccino”, dll.

Namun perlu diingat bahwa judul yang berlebihan malah akan dapat menjadi bumerang bagi Anda. Judul yang “too good too be true” bisa jadi membuat pembaca khawatir bahwa isi cerita di dalamnya tidak sedahsyat “aumannya”. Karena itu sebagai penulis, kita harus berhati-hati dalam menggarap judul. Judul yang kurang baik dapat membuat pembaca meninggalkan karangan kita sebelum sempat membaca paragraph pertama. Bagi penulis, itu adalah mimpi buruk.

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan dalam membuat judul sebuah karangan.

1. Cara termudah untuk membuat judul adalah, percaya atau tidak, dengan menampilkan setting di mana atau kapan cerita itu terjadi. Karena itu banyak dijumpai karangan berjudul, “Di Lereng Bukit…..”, “Di Pantai ….., “Kisah Sedih di Malam Minggu”, dll. Saya memandang cara itu sebagai cara yang paling “kurang kreatif” dalam membuat judul. Cara itu satu tingkat lebih tinggi dari kondisi putus asa dan khawatir jika tidak dapat membuat judul yang baik. Saya hanya akan melakukan cara itu jika benar-benar sudah mengalami kebuntuan, dan agaknya semua cara yang saya lakukan untuk membuat judul yang lebih baik, gagal. Cara itu bisa berhasil baik untuk pembaca yang kebetulan punya ikatan dengan tempat atau waktu seperti yang ditampilkan di cerita itu. Namun tetap dilihat dari sisi teknik penyusunannya, saya tidak merekomendasikan cara itu. Terkadang beberapa penulis cerdik memanfaatkan tehnik ini dan dapat berhasil. Caranya adalah mengaitkan judul dengan setting yang memiliki nilai emosional tersendiri, contoh: peristiwa gempa bumi di Yogya, tsunami di Aceh, penaklukan puncak himalaya, dll. Saran saya adalah, jika Anda memang ditempatkan pada kondisi yang mengharuskan Anda menggunakan metode ini, pilihlah secara cermat setting yang ingin Anda tampilkan sebagai judul. Jangan sampai pembaca merasa bahwa setting di judul ini hanya sekedar tempelan, dan tak punya nilai urgensitas.

2. Cara terburuk lainnya untuk membuat judul adalah dengan menggambarkan dengan jelas sekali cerita Anda kepada pembaca, sehingga tanpa membaca cerita Anda pun, pembaca sudah bisa menebak akan ke mana cerita ini berakhir. Judul-judul senada : ”Tragedi....”, “Karma”, “Suatu Hari yang Sedih di….”, ”Kemalangan....”, sebaiknya tidak perlu sering-sering dipakai. Namun demikian saya tidak memungkiri ada beberapa penulis yang punya nyali untuk membuat judul ”Pembunuhan......” dan karangannya itu meledak di pasaran. Pada paragraf pertama, pembaca sudah disodori akhir cerita itu, yaitu meninggalnya ”Mr.....”. Namun demikian uniknya cerita itu mampu menggiring pembaca untuk sedikit demi sedikit membuka rahasia di balik kematian si tokoh di cerita itu. Cara itu adalah metode yang jenius, namun demikian tidak semua orang bisa melakukannya. Jika Anda tidak cukup percaya diri untuk melakukannya, cobalah cara yang biasa saja.

3. Banyak penulis yang berkonsentrasi pada rima judul yang mereka buat. Itu adalah suatu pertimbangan yang bagus, karena perpaduan bunyi yang bagus biasanya dapat menggelitik pembaca. Pembaca akan berpikir bahwa penulis yang menciptakannya pastilah seorang yang kreatif. Ini sudah cukup dijadikan jaminan bahwa cerita yang dihasilkannya pun tentu bagus.

4. Kita harus menyadari bahwa kadang kalimat yang pendek lebih efektif dan memiliki kesan lebih kuat daripada kalimat panjang yang bertele-tele. Coba saja, adakah kata makian yang terdiri dari kalimat yang panjang? Biasanya mereka malah terdiri dari dua suku kata saja. Namun demikian, jika Anda terpaksa harus membuat judul yang panjang, yakinkan bahwa Anda telah mencoba membacanya dengan keras dan juga menunjukkannya pada teman Anda, bahwa judul Anda tidak akan dipersepsikan lain. Panjangnya judul ini bisa disiasati dengan mensinkronkan bunyinya. Contohnya adalah salah satu karangan yang berjudul : ”Kutunggu Datangmu Hanya Untukku”

5. Salah satu cara kreatif dalam membuat judul adalah memunculkan suatu kontradiksi. Ini dilakukan dengan cara memuat dua atau lebih unsur yang bertolak belakang, misalnya ”You Love Me, You Love Me Not”. Dengan cara ini pembaca biasanya akan menjadi penasaran dan selanjutnya membaca karangan Anda untuk menemukan hubungan tersebut.

(Setidaknya) Tiga Hal yang harus dimiliki untuk sukses sebagai Penulis BestSeller


Salah jika kita masih beranggapan bahwa dunia sehari-hari seorang penulis hanya berkutat dengan kertas, alat tulis, atau komputer. Paradigma bahwa penulis adalah orang kesepian yang membangun dunianya sendiri di dalam pikirannya –sehingga batasan antara penulis dan penderita autis itu tipis- terbantahkan dengan makin banyaknya fenomena penulis yang menjadi seleb dadakan.

Sekitar seminggu yang lalu saya menghadiri diskusi buku Laskah Pelangi karya Andrea Hirata. Tahukan wahai kawan (sebaiknya saya mulai hati-hati menggunakan kalimat itu, karena di malam yang sama Andrea berniat untuk mematenkan kalimat tersebut), bahwa maksud kedatangan saya ke pertemuan itu adalah karena saya begitu terpengarahnya dengan kenyataan bahwa ada orang yang sebelumnya tidak punya pengalaman menulis fiksi (membaca buku fiksi sampai selesai pun hanya satu kali) berhasil membuat novel pertamanya best seller. Satu hal yang lain membuat saya penasaran, adalah bagaimana mungkin cara mengungkapkan cerita yang meledak-ledak -nyaris menurut saya tidak terorganisir dengan baik-, overlapping antara waktu saat cerita itu terjadi dengan sudut pandang penulis, panjangnya paragraph yang beresiko menimbulkan pembaca bosan, dan terjadi penggunaan istilah asing (nama latin untuk tanaman, dll) yang berlebihan bisa membuat tetralogi Laskar Pelangi bestseller?

Saya belajar bahwa tehnik menulis saja tidak bisa membuat Kita bisa menjadi penulis bestseller….

Di acara diskusi buku itu, saya dikelilingi oleh para penggemar Andrea yang mengelu-elukan. Beberapa orang bahkan sempat terang-terangan mengaku merinding melihat sosok Andrea. Saya merasa bahwa daya tarik fisik penulis adalah suatu modal, namun itu bukanlah yang utama. Saya melihat pada diri Andrea tersimpan kapasitas sebagai “ahli marketing” buku yang baik, di samping penulis tentunya.

Saya harus akui bahwa diri saya saat itu terbius oleh kepiawaian public speaking Andrea. Saya menjadi tak heran jika Laskar Pelangi akhirnya dapat terjual sebanyak tak kurang dari 500 ribu eksemplar. Sejenak saya tidak lagi meributkan tenang keterampilan tehnik penulisan Andrea yang kurang kuat. Saat itu tiba-tiba saya memaafkan kekurangannya itu sebagai sesuatu yang wajar mengingat Andrea adalah seorang mualaf fiksi (yang anehnya, malah sukses). Saya bersyukur masih ada Andrea, seorang anak muda yang cerdas, berwawasan, berideologi, dan yang lebih penting lagi adalah : punya impian.

Berkat malam itu, saya bisa merumuskan (setidaknya) ada tiga hal yang dibutuhkan agar dapat menjadi penulis bestseller :

1. Orisinalitas ide. Seorang penulis yang baik haruslah dapat menelurkan ide yang tidak bersifat kebanyakan. Penulis tersebut adalah orang yang mau bersusah payah untuk mengambil jalan memutar ketika kebanyakan orang memilih jalan yang lurus-lurus saja. Ia adalah orang yang berani menulis tentang bulan, saat orang kebanyakn tidak berani menulisnya sebelum benar-benar menginjakkan kaki ke bulan.

2. Cara pemaparan ide yang baik. Ini terkait dengan tehnik penulisan. Penulis yang baik haruslah mampu menyampaikan idenya dengan cara yang sistematis dan menarik. Penulis harus mampu bertempur melawan kebosanan pembaca, dan menang darinya. Ia adalah orang yang mampu menggambarkan bulan sehingga pembacanya merasa benar-benar menginjakkan kakinya ke bulan.

3. Kemampuan public speaking. Penulis yang baik adalah orang yang mampu untuk menumbuhkan tanggapan dari pembaca yang afirmatif. Ia adalah orang yang mampu untuk membuat pembaca mempersepsikan karangannya lebih baik daripada karya aslinya. Jika penulis tidak mampu mempresentasikan karangannya dengan baik ke hadapan publik, maka bisa jadi para pembaca yang sebenarnya potensial menjadi ragu untuk membeli. Namun penulis bukanlah penjual obat di pasar malam, yang berkoar-koar tentang keampuhan obat padahal dirinya sendiri tak yakin. Salah satu rumus untuk menjadi seorang public speaker yang baik adalah tidak ngotot, karena alih-alih dipersepsikan sebagai seseorang yang berkharisma, audiens malah akan menganggapnya kekanak-kanakan dan tidak bijaksana. Hal itu tentunya akan juga berpengaruh terhadap persepsi pembaca tentang buku yang ditulisnya. Penulis harus dapat menjual buku dengan kerendahan hati, dan ketinggian daya intelektual. Umumnya penulis yang baik berpendapat bahwa kesuksesan penjualan bukunya dikarenakan animo pembaca yang positif, ketimbang kehebatan si penulis itu sendiri. Hal ini bisa membuat pembaca merasa bahwa penulis adalah seorang yang rendah hati, dekat dengan mereka, sekaligus pintar karena mampu membidik pasar yang tepat. Para pembaca umumnya menyukai sosok penulis yang dewasa, pintar, dan bijaksana. Tetaplah optimis tanpa terkesan berlebihan. Tentunya Anda lebih suka dikenal sebagai penulis karena karyanya yang bagus ketimbang cara presentasinya yang norak, bukan?

Semoga sukses! Galang Lufityanto

Monday, February 23, 2009

Tesis: Antara Lemhanas, Uji Kesabaran, dan Segitiga Bermuda


Tadi pagi aku kirim sms nih ke DPT (Dosen Pembimbing Tesis) yang tersayang, berhubung hari ini nih rencananya jam 9.30 ada janjian mo konsultasi skalian bareng ama temenku...

Gini nih bunyi smsnya:
Assalamu'alaikum. Pak, ini Galang. Maaf sms pagi2. Cuma mau konfirm saja nanti saya dgn Lani jadi konsultasi dgn Bapak jam 9.30, kan? Matur nuwun. Wassalam
Pesan terkirim jam 06:15:02 am (sengaja soalnya kalo agak siangan biasanya Bapak balesnya lama, biasa orang sibuk, banyak yang diurusin....)

Selang beberapa saat, tepatnya pukul 06:20:11am, datanglah pesan dari beliau:
Mas Galang. Hari ini saya sibuk banget. Karena ada undangan tiba2 dari Lemhanas menjadi pembicara di Jakarta dalam penyusunan Indeks Kepemimpinan Nasional. Kita tunda ke Jum'at pagi pk 8.00. Ws.

Oh my God, padahal minggu yang lalu Bapaknya juga sibuk banget jadi gak bisa nyempatin konsultasi sama aku n Lani (temen seangkatan bimbingan tesisku).

Trus aku sms lagi:
Baiklah, tdk apa2, Pak. Saya akan sampaikan ke Lani. Tlng minta masukan Bapak skalian bsk jum'at ttng proposal tesis sy ya pak, agar bs sgera saya mulai kompre n intervensi. Rencananya saya akan mulai penelitian Maret ini. Trims atas bimbingannya. Galang
Pesan terkirim jam 06:26:45am

Eeh, ternyata Bapak bales sms-ku. Terkirim 06.48:36am
Ok Mas Galang. Lemhanas adalah lembaga tinggi negara yang akan tersinggung kalo sampai saya tolak permintaannya. Isinya kumpulan para jendral, mantan menteri, dan ilmuwan ternama. Diundang adalah suatu kehormatan. Harap maklum.

Aku baca sms itu berulang-ulang sambil khawatir kalo-kalo Bapakku tersayang itu tersinggung dengan pesan sms-ku. Aku buka folder SENT di HP-ku berulang-ulang untuk ngecek jangan-jangan smsku bernada ambigu, sinisme, n yang bisa diartikan salah. Jangan-jangan Bapak mikir nih aku sengaja mau nyindir Bapaknya kali. Kalo Bapaknya mikir aku gak tahu Lemhanas, emang bener (hehehehe), jadi harus nerangin aku watdehel Lemhanas is. Mungkin aku yang agak kurang peka (kayaknya udah gak cuma "mungkin" lagi, tapi udah "100% pasti"), tapi yang kutangkap dari pesan yang kukirim sendiri itu adalah aku sekedar kasih tahu ke Bapak kok kalo aku bener-bener mau nyelesain tesisku cepet-cepet.

Dan bukan salahku juga mau nyelesaian tesisku cepet-cepet, karena selain mahasiswa yang telat lulus kudu bayar 3 jeti untuk biaya kuliah semester depan, juga anjuran dari pengurus program S2 ku agar mahasiswanya cepet lulus. Kebetulan angka kelulusan di program S2-ku agak memprihatinkan. Setiap semester tuh sampe-sampe pengurus fakultas kudu nempelin daftar nama mahasiswa sejak angkatan pertama yang masih harus bayar SPP kuliah, yang sama aja artinya belum lulus. Jadi pihak pengurus sangat menginginkan agar kami segera cepet hengkang dari fakultas yang tercinta ini.

Nah, aku kadang bingung juga. Tuh pengurus ngomongnya biar kita cepet lulus, tapi tetep aja namanya birokrasi sucks! Mau ngajuin ujian kompre aja susahnya bukan main. Bukan susah ding, ribet. Harus yang nunggu hasil TOEFL kelar lah (yang hasilnya only God knows when it will finish, gitu deh), harus yang nunggu konfirmasi dari dosen pengampu kuliah Teknik Penyusunan Tesis lah, dan bejibun lah-lah lainnya. Padahal aku sama sekali gak protes pas persyaratan untuk ujian tesis ditambah supaya lebih berat daripada taon-taon sebelumnya. Seperti misalnya review jurnal dari yang 5 biji, ditingkatkan jadi 10 biji. Kagak apa-apa, soalnya pernah denger kan peribahasa, "Galang bekerja tiga kali lebih cepat daripada orang normal" He-eh, Galang itu manusia sombong dan gak normal abis....

Tapi kadang ketika kita udah bekerja maksimal, ada aja faktor eksternal yang let us down gitu deeh. Jadinya lama-lama males juga. Udah semangat-semangat cepet lulus, eeh ternyata respon dari luar malah melemahkan mental. But, I'm still hanging in there, Buddy, to show what myself is made of... Seharusnya penyusunan tesis tuh dibuat reality show kali ya, judulnya: uji kesabaran.

Trus nyambung dengan Tragedi Lemhanas, tuh, sama aja berarti aku mengalah demi negara, kan? Semoga pemerintah menyadari bahwa mengundang pembicara terkenal yang juga merangkap profesi sebagai dosen itu berakibat pada tertundanya kelulusan sekumpulan mahasiswa yang menjadi anak bimbingnya. Kalo misalnya, pemerintah nggak menyadari hal itu, yah gimana lagi ya namanya juga pemerintah. Mau diapain lagi?

Huu..huuu jadi pingin pindah ke Segitiga Bermuda yang nggak ada pemerintahan, universitas, dan tesis.

Paling-paling cuma ketemu siluman trus diajak ngilang bareng.

Sunday, February 22, 2009

ORB Novel Science-Fiction Terbaruku (Sorak-sorai bergembira, hip-hip-horay.....!)


Rasanya lega banget sodara-sodara ketika udah kelar nyelesain novel science-fiction yang keranka karangannya udah mulai dibuat sejak aku belum nyusun proposal skripsi (yep, it has been bloody ages ago....). Banyak lah alasannya. Tapi dari banyak alasan, hanya satu yang bener-bener bener (yang barusan itu namanya redundansi, sekalian review kembali pelajaran bahasa Indonesia kita), yaitu: KARENA AKU KETAKUTAN SENDIRI BUAT NULISNYA. Huuu....huuuu..., nggak jentel....
Novel itu lahir dari ketidakterimaan hidupku yang diinjak-injak oleh fenomena hantu n makhluk gaib yang membatasi gerak langkahku. Setiap kali main sama temen-temen pas adzan maghrib disuruh mami pulang soalnya ntar diculik wewe gombel, de el el. Pokoknya hal-hal seputar gaib sudah menjadi bagian dari hidupku sejak kecil.

Dan ini saatnya untuk berubah, dengan menggugat bahwa sebenernya makhluk gaib itu gak ngeri-ngeri amat loh (padahal akunya sendiri gak yakin, wong gak pernah ketemu, n GAK PINGIN KETEMU!!! Siapa tahu ada yang iseng mau bantu nemuin aku, thanks' eniwei gak usyah repot-repot....)

Jadi itulah asal mula niatanku nulis novel "ORB" itu. Bukunya udah ada di toko buku Gramedia n toko buku non-Gramedia (yang kayaknya juga banyak banget). Penerbitnya PT Tiga Serangkai, yak tul yang terkenal dengan buku-buku pelajaran sekolah. Tapi jangan khawatir, ORB gak akan keluar di ujian, tapi akan terbayang sampai alam mimpi... hiiii ngeri..
Ini nih sinopsisnya. Btw, ini bukunya serius lho, soalnya aku nulisnya pas lagi waras... Beli ya...!? Ya? Ya? Ya?

Seno telah bersahabat dengan apa yang dinamakan kesepian sejak dirinya dilahirkan. Kesepian begitu mengenalnya dengan baik hingga kemana pun Seno bersembunyi, kesepian tetap akan dapat menemukan dirinya. Dugaan dirinya adalah anak haram lah yang membuat Seno dikucilkan baik di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Hidup Seno berubah drastis setelah dirinya bertemu dengan Gus.

Gus adalah spirit yang melindungi Seno dari ancaman orang-orang yang ingin melukainya. Gus juga lah yang pada akhirnya membakar rumah Seno dan membunuh semua anggota keluarga Seno –yang selama ini telah menganiaya Seno. Namun demikian Gus adalah satu-satunya teman bagi Seno. Lantaran hanya Gus lah yang mau perduli padanya, dan juga karena dengan caranya sendiri Gus telah mencelakai orang-orang yang berada di sekitar Seno.
Tim peneliti hantu didatangkan dari Amerika khusus untuk mendapatkan penjelasan atas fenomena Gus ini. Tim ini terdiri dari seorang doktor dalam bidang fisika, psikolog, fotografer, teknisi, dan cenayang. Mereka ini sebelumnya telah beberapa kali meneliti fenomena supernatural, di antaranya adalah orb, yang dianggap sebagai unit satuan terkecil dari spirit –atau yang dalam manusia disebut sebagai sel.

Permasalahan semakin bertambah rumit setelah terkuak fakta bahwa ternyata ada banyak kepentingan bercampur di situ. Tim itu tidak hanya harus berurusan dengan spirit, namun juga harus menghadapi ancaman CIA dan pihak-pihak jahat lain yang menginginkan informasi berharga tentang Gus. Padahal menghadapi ulah Gus saja tim ini sudah kewalahan. Gus menyerang dan membahayakan nyawa anggota tim ini berulang kali.

Lalu siapakah Gus sebenarnya? Dan apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan orb itu? Apakah kemudian penelitian ini juga berhasil menjelaskan fenomena-fenomena supernatural yang selama ini sering terjadi dalam kacamata ilmiah?

Efektivitas Penyusunan Thesis terhadap Kehidupan Sosial Mahasiswa


Penyusunan thesis menimbulkan pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial mahasiswa Mapro Psikologi angkatan IV (Gwe, Gak, & Loh, 2009), hal ini dibuktikan dari tingkat kehadiran yang rendah di cafe-cafe, night-club, dan mall (Hu, Da, Hell, Ar, & Dem, 2008). Hal ini diduga karena tingkat kecemasan yang tinggi. Tingkat kecemasan yang tinggi disebabkan oleh beberapa persyaratan yang diberikan lebih berat pada tahun ini apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti misalnya review artikel jurnal yang semula hanya 5 menjadi 10 buah (Cha, Pek, & Deh, 2009). Selain itu untuk bentuk intervensi diharapkan tidak hanya terbatas pada training saja, namun juga caring, flighting, shipping, becaking, dan bentuk-bentuk kendaraan lainnya. Intervensi secara individual juga diharapkan tidak terbatas pada coaching, namun juga oanjing, boajing, dan juga nama-nama hewan lainnya. Peran serta Dosen Pembimbing dalam penyusunan thesis ternyata dapat menurunkan tingkat kecemasan, seperti temuan penelitian terdahulu yang mencari pengaruh antara mahasiswa, dosen pembimbing, dan Tuhan. Temuannya adalah sebagai berikut: mahasiswa berusaha, Tuhan menentukan, dan Dosen Pembimbing melancarkan usaha mahasiswa dan Tuhan (Ai, Hop, & So, 2009). Hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah night-club tidak buka pada bulan puasa, seperti yang dilansir dalam www.ora-nyambung-aku-ngerti-wis-rasah-protes-gek garap-proposal-kono.com.

Tawaran dadakan jadi promotor musik

Hari Sabtu yang lalu aku ditelepon salah seorang mantan murid dari Finlandia (yang ngotot kalo Sinterklas itu dari Finlandia). Dia nawarin aku kerja sama untuk nggarap proyek konser musik The Rasmus. Hm.., tawarannya menggiurkan tapi duit yang pake buat modal gak dikit, sekitar hampir 1 M..... Tapi muridku ngotot duit gitu gak banyak kok buat bayar The Rasmus, mengingat mereka adalah termasuk top 100 grup band di dunia. Padahal jujur aja akyu tuh gak ngeh siapa itu The Rasmus, secara aku tuh penggemar Boyband, terutam Take That, Take This, Take All of Those (emang rampok?), dan juga ST 12... Lagu Melayu cucok pokoknya buat akyu...

Nah, trus jadinya aku bingun secara aku gak ahli urusan penyelenggaraan konser musik. Ya aku punya bakat jadi EO seeh, tapi kan cuma sebatas acara sunatan, hajatan kampung, dll. Duh kalo acara total 1 M, mau jual diri aja gak nutup modal awal dunk.... Mangkanya nih aku lagi cari info orang yang bisa ngegantiin posisiku, secara aku gak enak ati ama muridku yang terlanjur semangat buat nggelar perhelatan akbar macam itu.

So kalo ada yang tertarik, kasih alamat email ya.....

Pertanyaan Paling Gak Terduga

Kemarin tepatnya aku ditanyai oleh dua orang murid buleku dalam waktu yang tidak bersamaan. Murid pertama dari Kanada, sudah tinggal di Pekan Baru selama 4 bulan tapi nggak omong Bahasa Indonesia babar blas.
Dia nanya, "Berapa sih jumlah populasi di Yogyakarta?"
Aku gak ngira pertanyaan ini penting, ya jawab aja, "Ya, banyak..." Dalam hati aku mbatin satu juta orang tuh sebanyak apa seeh? Kira-kira jumlah penduduk Yogyakarta tuh dalam satuan jutaan, milyaran (ya gak mungkin ya?), atau malah cuma ribuan.
Eeh, kaya gak nyadar posisiku udah terjepit, si murid itu masih aja ngejar, "Banyaknya berapa?"
Aku menelan ludah. Duh, kalo aku sampe bilang angka yang salah bisa berabe nih. Akhirnya aku kasih aja jawaban yang bijak guna menutupi kebusukan memoriku. "Yah, sulit untuk memperkirakan jumlahnya, karena Yogya itu kaya kota transit. People come and go, soalnya ini kan kota pelajar. Jadi orang-orang cuma dateng untuk belajar trus setelah itu pergi buat cari kerja.... Jadi jumlahnya tiap tahun gak tetep."
Eeh, untungnya si bule itu mau aja percaya...
Hehehe, aku udah kegirangan. Ternyata pesonaku untuk mengelabuhi orang masih tetep manjur....
Trus malemnya aku kudu jemput murid kedua yang dateng dari Jerman. Eeh.., ajaibnya dia nanya pertanyaan yang sama... berapa jumlah penduduk Yogyakarta?
KAYA PENTING BANGET SEEH PERTANYAANNYA!!??
Jadi, aku memutuskan untuk mencari jawabannya di internet pagi ini.
Ternyata sodara-sodaram, eng-ing-eng, populasi penduduk di DIY pada tahun 2007 adalah sebanyak 3,4 juta!!
(hening....)
Pasti kalian mikir, "so what, gitu loh?!"
Tuh, kan aku juga bingung, ngapain sih orang-orang kudu nanyain pertanyaan itu, kaya penting aja......

Ucapan Selamat Datang


Selamat datang guys di blog-ku yang baru. Setelah malang melintang dengan berbagai macam blog yang pernah kutulis, dari yang umurnya cuma setengah hari sampe berbulan-bulan (tapi langsung hilang karena ujung-ujungnya disuruh bayar. Homestead penjahat!), akhirnya kumantabkan hati buat nulis di sini aja.

Eniwei websiteku yang www.galang.biz masih kok, cuma berhubung aku malas kudu nyusun tata letak n sebagainya, jadi untuk tulisan sehari-hari aku pake blog ini aja. Lagian kalo di websiteku pake bahasa Inggris, yah sekedar buat ngelatih written English-ku (hari gini nulis pake Inggris gak bisa?!). Tapi berhubung banyak pengunjung websiteku banyak yang belum lulus kursus Bahasa Inggris pada protes soalnya bahasa Inggris di websiteku sulit untuk ditangkap (yah, bukan salah mereka sih, aku aja yang kebanyakan nulis pake ungkapan slang)...., jadi ya kayaknya aku kudu punya blog versi Bahasa Indonesia.

Cuma pas buat blog ini agak bete juga dengan versi Bahasa Indonesia yang malah bikin aku pusying... Ada istilah-istilah yang kalo ak ati-ati buat salah tangkap. Misalnya, "pengikut". Masya'Allah, aku cuma mau buat blog lagi, bukan mau bangun sekte keagamaan yang baru (betewe, kabar aliran Satria Piningit tuh gimana, ya? Udah dijeblosin penjara belum tuh para pemuka sektenya? Aku udah lama gak liat berita. Berita terakhir tentang Ponari yang katanya produksi air mineral kemasan cap 'Batu Celup", ciyeee.... teh celup kalah pamor). Jadinya instruksi dalam blogku tetep dalam bahasa Inggris, tapi kontennya dalam bahasa Indonesia...

Trus blog ini bakal berisi segala macam curhat, gundah gulana, proses kreatif (dan juga yang nggak kreatif), uneg-uneg, de el el.... Pokoke dengan membaca blog ini gak akan terjadi salah persepsi kalo Galang tuh anaknya pendiem, pinter (kalo yang ini iya, sumpeh deh...), ganteng, n serius.... Kalian bisa liat dapurnya Galang, si lelaki yang kebanyakan status sampe gak sempet cari jodoh. Kalo misal kalian pingin daftarin diri jadi jodoh atau menjodohkan, tolong kirim foto berwarna seukuran paspor sebanyak 3 lembar, dengan background warna merah, dan juga sertakan nomor rekening bank... (maksudnya apa, ya?). Minimal kalo gak lolos jadi jodohku bisa jadi TKW... hehehe ngawur..

Ya weis, see you when I see you lah yaw.....!

Love,
Galang L.