Saturday, April 18, 2009

Sukses dan Bahagia dengan Pekerjaan Anda

Umumnya orang memandang bekerja semata-mata sebagai suatu aktivitas untuk menghasilkan nafkah. Pada kenyataannya, konsep bekerja tidak sesederhana itu. Mari kita melihat bagaimana ”konsep bekerja” dalam gambaran luas kehidupan kita. Kelak ketika telah memiliki pekerjaan, kita akan menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk bekerja dan beristirahat setelah seharian bekerja agar bisa tetap segar untuk bekerja pada hari berikutnya. Perhatikan berapa banyak saya mengucapkan kata ”bekerja” dalam kalimat barusan? Banyak, bukan? Itulah kenyataan yang harus Anda hadapi, bahwa pekerjaan adalah hal yang akan sangat menyita waktu Anda!

Umumnya ketika telah memiliki pekerjaan, Anda diwajibkan untuk berkutat dengannya selama kurang lebih lima hari, tujuh hingga delapan jam tiap harinya. Dari total waktu dalam seminggu, Anda hanya punya waktu dua hari untuk beristirahat. Jika bekerja di Jakarta, mungkin Anda akan memilih menghabiskan liburan Anda di kota terdekat seperti Bandung atau Bogor. Itu berarti beberapa jam lagi harus Anda habiskan dengan terjebak di kemacetan. Bisa dikatakan waktu Anda bersantai pun tidak genap dua hari.

Itulah potret kehidupan para pekerja masa kini. Membaktikan sebagian besar waktu dan tenaga mereka pada pekerjaan mereka. Bisakah Anda membayangkan bagaimana jadinya seseorang tidak bahagia di tempat kerjanya? Artinya, selama lima hari orang itu akan menderita, dan hanya mendapatkan dua hari (bahkan kurang) untuk membayar deritanya itu. Bukankah orang-orang seperti itu adalah mereka yang merugi?

Kuncinya adalah satu, yaitu Anda harus bahagia dan menikmati pekerjaan Anda. Anda baru bisa merasa bahagia dengan suatu pekerjaan apabila Anda merasa bahwa pekerjaan tersebut merupakan panggilan hidup Anda. Bagaimana membuat Anda menikmati pekerjaan Anda? Hal itu dimulai dengan memilih pekerjaan yang cocok dan Anda minati
Dalam memilih pekerjaan, ada setidaknya empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu: jenis profesi yang digeluti, keterampilan yang dibutuhkan, lingkungan kerja termasuk fasilitas yang ada di dalamnya, dan juga imbalan yang sesuai. Jenis profesi merupakan aspek pertama yang harus Anda pertimbangkan. Setidaknya ada empat macam profesi yang bisa Anda pilih, yaitu: spesialis, generalis, manajerial, dan enterpreneur. Keempat-empatnya memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing.

Sejak awal Anda perlu memutuskan profesi mana yang cocok bagi Anda. Jenis profesi juga terkait dengan nama jabatan dan jenis tugas yang ingin Anda tekuni. Jika Anda memiliki latar belakang psikologi industri misalnya, apakah Anda lebih tertarik pada bidang rekrutmen, personalia, atau pengembangan organisasi? Anda harus mulai bisa menentukan apa yang terbaik bagi Anda di masa depan.

Ketika memilih suatu pekerjaan, Anda juga harus dapat memprediksi keterampilan apa saja yang dibutuhkan guna sukses dalam karir Anda. Anda bisa mulai untuk mengumpulkan informasi tentang keterampilan, serta menyusunnya dalam suatu daftar. Keterampilan dasar yang biasanya disyaratkan oleh perusahaan meliputi: komunikasi, penguasaan teknologi, kepemimpinan, kerja sama tim, kemandirian, adaptasi, manajemen waktu (diambil dari kompas.com). Selanjutnya, Anda bisa mencocokkan daftar tersebut dengan keadaan faktual –keterampilan apa yang telah Anda miliki dan apa yang belum dimiliki –sehingga Anda bisa mengevaluasi serta mengembangkan diri. Pengetahuan tentang keterampilan tersebut dapat membantu Anda dalam mendapatkan pekerjaan yang Anda inginkan karena semenjak dari tahapan wawancara kerja, si pewawancara pasti akan mencoba mencari tahu apakah Anda memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Jika telah lebih dahulu tahu keterampilan apa yang hendak disasar oleh si pewawancara, Anda bisa lebih siap untuk menjawab.

Lingkungan kerja juga merupakan aspek penting, terkait dengan lokasi di mana Anda akan bekerja. Jika Anda berniat untuk bekerja di industri pertambangan dan perminyakan maka bersiaplah untuk ditempatkan di lokasi penambangan yang mungkin jauh dari daerah metropolitan. Atau jika Anda mengejar posisi manajerial, bersiaplah untuk pindah ke kota besar seperti misalnya: Jakarta, dsb. Beberapa perusahaan telah mengumumkan bahwa mereka mungkin akan menempatkan pegawainya di beberapa cabangnya di Indonesia. Anda harus bersiap-siap dengan kemungkinan tersebut.

Terakhir adalah aspek yang sering dijadikan faktor utama seseorang dalam memilih pekerjaan, yaitu: imbalan. Imbalan tidak hanya sebatas yang berbentuk finansial saja. Pengembangan karir adalah suatu bentuk imbalan juga, bahkan penghargaan lisan yang sifatnya intangible sekalipun. Kemungkinan untuk dibiayai kuliah di luar negeri juga adalah salah satu bentuk imbalan. Sebelum mulai melamar pekerjaan, ada baiknya mengumpulkan informasi mengenai bermacam-macam jenis imbalan yang bisa diberikan suatu perusahaan terhadap karyawannya, sehingga Anda bisa menanyakannya secara langsung kepada representatif perusahaan pada saat wawancara akhir, mungkinkah Anda mendapatkan beberapa jenis imbalan yang Anda kehendaki.

Dalam mencari kerja, seseorang harus menyadari bahwa aktivitas tersebut identik dengan promosi diri sendiri serta talenta yang dimiliki. Selain itu, sebelum mencari pekerjaan yang sesuai dengan dirinya, seseorang diharuskan untuk merancang suatu strategi tertentu dan juga bersabar dalam menjalani tahapan prosesnya. Strategi yang dimaksud di sini adalah bagaimana cara membentuk personal brand bahkan semenjak Anda belum direkrut oleh suatu perusahaan tertentu. Personal brand atau reputasi terkait dengan produk yang Anda miliki. Produk Anda ketika melamar pekerjaan adalah pengetahuan, keterampilan, serta sikap kerja Anda (knowledge, skill, & attitude). Setelah Anda menemukan produk dalam diri Anda, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana cara untuk mengkomunikasikannya.

Produk Anda bisa terdeteksi oleh perusahaan melalui berkas administrasi (resume atau CV) serta tes intelegensi maupun tes psikologi yang Anda ikuti. Perusahaan dapat mengetahui siapa Anda dari track record Anda, yang meliputi pengalaman bekerja sebelumnya, asal universitas, angka IPK, jurusan yang diambil, keaktifan berorganisasi, lamanya kuliah, pendidikan informal yang diikuti, prestasi, dan masih banyak lagi. Setelah perusahaan menangkap apa produk Anda, satu lagi yang harus Anda jalani adalah tes wawancara. Tes yang terakhir ini sering menjadi momok bagi sebagian besar orang. Umumnya mereka merasa kurang percaya diri ketika hendak mengikuti tes wawancara pekerjaan. Produk telah mereka miliki, namun tidak berarti mereka selalu bisa menjual produk tersebut karena keterampilan komunikasi mereka lemah.

Dalam menghadapi wawancara kerja, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : sikap percaya diri dengan pewawancara, fokus pada isi pertanyaan, menjaga kontak mata dengan pewawancara, mengikuti alur yang dibangun pewawancara, menjaga sikap profesional, kontrol pada jawaban, serta konsistensi jawaban. Selain itu sebelum menjalani proses wawancara, Anda sebaiknya mempelajari perusahaan serta posisi yang Anda lamar. Dalam wawancara, Anda sebaiknya tidak berbohong. Meskipun demikian, Anda boleh-boleh saja memilah-milah info yang tidak menjatuhkan Anda. Anda juga disarankan untuk berlatih menjawab pertanyaan tipikal, seperti misalnya motivasi Anda dalam bekerja di tempat tersebut. Dua aturan utama dalam menjalani ujian wawancara adalah: berpakaian yang rapi dan mencerminkan profesionalisme, serta datang tepat waktu ke tempat ujian. Persiapan yang baik serta sikap yang tidak gegabah dalam memilih pekerjaan adalah awal dari kesuksesan serta kebahagiaan Anda dalam bekerja.

Studi di Belanda: Dari Sebuah Perkampungan Global Merindukan Kampung Halaman



Jujur, orang Belanda adalah tipe-tipe yang paling menyenangkan buat dijadikan teman. Bukan cuma karena mereka orangnya bicara apa adanya, tapi juga sikap mereka yang umumnya sangat membumi dan nggak sombong. Dari banyak turis yang datang ke Indonesia, menurutku orang Belanda lah yang paling bisa membaur dengan budaya setempat dan juga orang-orangnya. Suatu hari kutanyakan "mengapa" ke salah satu temen Belandaku, Eelco namanya, yang sama orang-orang di sekitar Jalan Prawirotaman (salah satu kawasan wisata di Yogyakarta) dipanggil ”Moncrot” (jangan tanyakan mengapa).

”Karena orang Belanda suka bepergian. Itu sudah menjadi sifat bawaan kami,” begitulah jawaban si Moncrot.

”Kenapa harus bepergian?” Kejarku lagi.

”Karena negara Belanda itu kecil sekali. Sampai banyak orang Amerika pikir Belanda itu ibukota Belgia.”

”Ah, masak?”

”He-eh. Belum lagi orang di Belanda nggak banyak. Malah lebih banyak babi di sana ketimbang manusia,” ujar si Moncrot sambil memamerkan giginya yang putih mengkilat dan tampak serasi dengan kepala plontosnya yang mampu memantulkan cahaya lampu neon dengan sempurna.

”Hah?!”

Jadi, memang orang Belanda sejak dulu udah terkenal sebagai bangsa petualang. Meski demikian, beda dari kebanyakan turis lainnya, orang-orang Belanda sangat mau untuk membuka diri dan belajar banyak dari budaya daerah yang dikunjungi. Mereka ini tipe yang paling nggak rewel kalau bicara soal makanan dan bersemangat banget buat belajar bahasa setempat. Keterbukaan sifat bangsa Belanda bisa jadi dikarenakan budaya Belanda sendiri merupakan percampuran antara pengaruh Inggris, Perancis, dan Jerman.

Sebagai negara yang kecil, Belanda memposisikan dirinya sebagai suatu komunitas global. Untuk datang ke Belanda, kita nggak perlu harus belajar Bahasa Belanda dulu. Menurut hasil survey di www.nuffic.com, tak kurang dari 95% warga negara Belanda mampu berbicara bahasa Inggris. Jadi, bisa bicara bahasa Inggris pun sudah cukup, karena orang-orang Belanda nggak akan menolak jika ada orang asing bicara bahasa Inggris dengannya. Berbeda sekali dengan beberapa negara lain yang terkesan kurang ramah dengan orang yang nggak bisa berbicara bahasa setempat.

Ketika bertemu dengan orang Belanda pertama kali, mereka nggak akan canggung-cangung untuk bersalaman. Bahkan ketika sudah agak kenal, umum bagi mereka untuk cium pipi ketika bertemu. Orang Belanda punya karakteristik lovable, alias mudah untuk disukai. Mungkin ini yang membuat orang Belanda jadi mudah bergaul dan karenanya jadi lebih gampang menyerap hal-hal baru dibandingkan dengan orang Eropa lainnya.

Nggak pernah sekalipun aku ketemu orang Belanda di Indonesia yang ngaku bahwa ini pertama kalinya ia bepergian keluar dari negerinya. Minimal mereka sudah pernah singgah ke negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang, Korea, atau India. Data (www.voxeu.org) menunjukkan sekitar 123.000 orang Belanda tiap tahunnya pergi dan menetap di luar negeri (emigran). Bicara dengan mereka aku sepertinya bisa menggali banyak informasi tentang apa sih yang terjadi di dunia sana. Ini benar-benar asyik ketimbang browsing di internet, karena aku bisa mendapatkan informasi pandangan nyata dan juga pengalaman mereka sendiri selama di negara lain.

Aku jadi bisa membayangkan gimana asyiknya pergi ke Belanda, apalagi kalau bukan karena di sana itu nggak ubahnya pusat informasi yang sifatnya global. Sepertinya orang-orang di sana tahu apa yang tengah terjadi di seluruh dunia layaknya pusat intelejensi saja. Hebatnya lagi, keunikan negara Belanda bukan hanya sebatas orang-orangnya yang global minded, tapi juga ternyata banyak sekali etnis yang tinggal di sana. Bahkan kabarnya di Amsterdam tinggal lebih dari 170 etnis bangsa dari seluruh dunia. So, udah serasa seperti miniatur dunia, kan? Pergi di sana, kita serasa bukan sebagai turis tetapi sudah otomatis menjadi bagian dari masyarakat yang majemuk. Nggak akan ada lagi jarak, serasa jadi tamu di rumah sendiri.

Namun demikian, nggak lantas Belanda kehilangan jati dirinya. Di sana kita masih bisa nikmatin banyak hal yang jadi signature Belanda, yaitu: arsitektur bangunan yang khas dan baju tradisional –juga nggak ketinggalan topi dan klompen. Belum lagi makanannya. Kalau kita sempat jalan-jalan ke Bandung, salah satu buah tangan yang cukup terkenal di sana adalah klaapertart. Kue satu itu juga adalah asli peninggalan dari Belanda. Trus banyak juga menu masakan yang lain. Mencicipi masakan-masakan Belanda kita jadi serasa dibawa kembali ke masa-masa sejarah dulu; bagaimana peradaban Belanda ternyata turut mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Belanda memang bukan negara yang asing bagi umumnya orang Indonesia. Ada beberapa hal yang dibawa oleh Belanda dan telah menubuh dalam kehidupan orang Indonesia bahkan hingga saat ini. Mulai dari sistem peradilan di Indonesia, hingga ke hal-hal yang dasar banget seperti masakan.

Bicara tentang masakan, jadi teringat bagaimana dengan masakan Indonesia di Belanda. Kalau kita tinggal di negara lain, boleh dong kita sekali-kali kangen dengan masakan negara sendiri. Di Belanda, hal itu nggak masalah. Terdapat rumah makan Indonesia di hampir setiap kota besar di Belanda, seperti misalnya: rumah makan Srikandi atau Aneka Rasa di Amsterdam, atau juga the Raffles di DenHaag. So, jauh dari kampung halaman sendiri gak jadi masalah. Bahkan di rumah makan Indonesia kita bisa bertemu sesama orang Indonesia yang tinggal di kota tersebut, ngobrol sambil melepas kerinduan pada kampung halaman.

Negara Belanda terletak di titik pusat negara Eropa. Ingin bepergian ke negara lain pun nggak sulit. Pergi ke Paris, Berlin, Brussel, atau London misalnya hanya memerlukan waktu satu jam naik pesawat dari Amsterdam. Meskipun Belanda adalah negara kecil, namun pariwisata di sana tak kalah dari Paris atau London. Beberapa atraksi menarik digelar tiap tahunnya, seperti misalnya: The Fortis City-Pier-City Walk, yang merupakan semi-maraton internasional yang diselenggarakan di Hague. Event ini tiap tahunnya diikuti rata-rata 18.000 peserta dari seluruh penjuru dunia. Event ini setengahnya merupakan perlombaan, setengahnya lagi merupakan acara bersenang-senang. Dikatakan bersenang-senang karena di acara tersebut para partisipan akan melewati daerah pesisir pantai Scheveningen, yang terkenal itu. Nggak hanya sampai di situ, para peserta lomba ini juga diharapkan untuk memberikan donasi pada Right to Play, sebuah lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang bergerak dalam bidang penyediaan fasilitas olah raga dan rekreasi pada daerah-daerah yang kurang beruntung di seluruh dunia. Ide diadakan event ini memang menarik, yaitu: berolahraga, bersenang-senang, dan beramal. Beberapa event menarik yang lain seperti perayaan Queen’s Day yang berpusat di Damrak dan Leidsestraat Amasterdam adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh turis mancanegara dan warga negara Belanda sendiri. Pada hari itu ada banyak sekali parade, kembang api, dan pasar murah di sepanjang jalan.

Tertarik belajar di Belanda? Pada tahun 2009/2010 universitas-universitas di Belanda akan menawarkan 1.391 program internasional. Belanda boleh berbangga hati karena tercatat sejak tahun 1950 Belanda merupakan negara-bukan-berbahasa-Inggris pertama yang menyelenggarakan program pendidikan berbahasa pengantar Inggris. Tradisi itu masih berjalan hingga sekarang. Setiap tahunnya ada sekitar 70.000 mahasiswa asing mengambil kuliah program internasional di Belanda, melalui jalur beasiswa seperti Erasmus Mundus, HSP Huygens Programme, Netherlands Fellowship Programme, atau The Royal Dutch (Shell). Jurusan yang paling sering diambil adalah ekonomi, mengingat Belanda sudah terkenal sejak jaman dulu dengan budaya perdagangan yang kuat dan bisnis internasional. Jurusan ekonomi di Belanda dirancang sedemikian rupa agar interaktif dan fokus pada kerja sama tim, sehingga memungkinkan bagi kita untuk bertemu dengan mahasiswa lain yang berasal dari negara berbeda, dan hal itu otomatis semakin memperkuat wawasan global kita.

So, tunggu apa lagi? Negara Belanda adalah tempat yang cocok buat kita-kita belajar karena selain tinggal di negara itu adalah tiket menuju komunitas global, kita sendiri juga akan menjumpai beberapa hal yang familiar bagi kita sehingga mampu mengobati kerinduan pada kampung halaman kita. Tinggal di Belanda layaknya tinggal di pekarangan rumah sendiri dalam suatu perkampungan global. Selangkah saja keluar dari pekarangan, kita akan menjumpai budaya, orang-orang, dan tradisi beracam-macam yang datang dari seluruh pelosok penjuru dunia. Kita akan merasakan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang murni indah, dan bukanlah hal yang patut untuk dipermasalahkan. Di negara Belanda inilah kita bisa belajar dan memandang dunia dengan cara berbeda, sehingga setelah kita berkunjung ke sana, kita tidak akan pernah menjadi orang yang sama lagi.

Saturday, March 28, 2009

My life is full of shiT..ESIS

Woaah..., akhirnya setelah berjibaku selama beberapa minggu, kelar juga ujian kompre-horor hari Jum'at tanggal 20 Maret 2009 lalu. Dengan ditonton oleh beberapa orang saja (soalnya yang laen pada telat n gak boleh masuk ruangan sama dosen penguji, sukurin....hehehehe), akhirnya aku bisa kelar ujian kompre dengan KEBAKARAN JENGGOT......!!!!

Gimana nggak kebakaran jenggot, kalo kelar ujian kompre dosen penguji bilang penelitianmu kudunya nggak sesingkat itu, harus lebih lama lagi. Wuaduh..., bayanganku tentang Spanyol dan diriku pas diseruduk banteng pecah berkeping-keping luruh ke lantai (weiss...).

"Tambah lama, tuh tambahnya berapa lama, ya, Pak?" Tanyaku innocent dengan detak jantung yang berdentam-dentum.

Ketiga dosen pengujiku menatapku macam ngeliat orang idiot yang berhasil ujian kompre pertama kali dari angkatannya (gimana tuh jadinya?).

"Ya, sesuai sama teorinya yang kamu pakai."

Duh, harus muter otak. Jangan sampe eh jangan sampe rencana liburanku gagal. Not this time. Masak sudah sampe bolak-balik ke kantor imigrasi buat memperpanjang paspor, dikirain TKI petugas imigrasi (padahal pas itu aku lagi gak bawa kardus mie instan trus baju ama sepatuku matching lo), n ngurus bermacam tetek-bengek laiinya, masak ya gak jadi pergi sih? No way.

Akhirnya meski keluar dari ruang kompre dengan muka lesu, gotta suck this up and move on (but not quite yet). Belum meredakan gemuruh di dada, melesatlah diriku ke Fakultas Hukum untuk ngisi pelatihan jurnalistik di sana. Meski kecewa n panik setengah mati bakal lulus lebih lama dari rencana, aku kudu nepati janji jadi pembicara di Fakultas Hukum dunk. Profesional ceritanya.... Jangan sampe perasaan pribadi mencampuri profesionalisme, terutama kalo lagi butuh duit (weiss..)

Meski pas jadi pembicara mukaku ketekuk-tekuk n banyak bengongnya, untungnya aku sukses menyelesaikan tanggung jawabku. Tapi ternyata tanggunganku nggak hanya berhenti di situ aja. Besoknya aku kudu ngisi di dua acara. Ya ampun, kebayang nggak sih harus berbicara di muka umum pada saat hati tengah berkabung? Jadi tahu perasaan Dewi Persik pas lagi manggung padahal baru aja dicerai deh. Asal....

Akhirnya setelah masa "mengejar setoran" itu selesai, aku bisa fokus ke revisi proposal tesis. Duh, kayaknya kudu ganti beberapa nih. Tapi setelah aku ganti beberapa hal, KOK MALAH JADI SEMUANYA IKUT BERUBAH.....?!

Trus aku bandingin ama proposalku yang lama, revisiku ini beda banget. Judul beda, latar belakang beda, teori beda, intervensi gak nyambung, pengukuran beda. Dari proposal awal sampe proposal revisi yang sama cuma dua doang : jenis font ama ukuran font (kalo itu diitung aspek penting dalam tesis)... Aku gak bisa bayangin gimana ekspresi muka dosen pengujiku kalo tahu aku ganti banyak. Masih mending kalo mereka cuma bilang, "Ini revisi apa revolusi?", lha kalo tersinggung trus malang mutung piye?

Masak aku bilang "Pak, saya ini adalah spesimen manusia globalisasi. Pergantiannya serba cepat dan tidak terduga..." Gak bisa juga, kan? Keluh...

Jadi makanya kalo akhir-akhir ini aku malah keliatan makin sibuk, ya mohon dimaklumi. Soalnya aku kudu berusaha untuk lulus tepat waktu biar aku gak jadi batalin liburan. I need a vacation so bad. Tapi enggak liburan di Indonesia lah ya, kok kaya orang susah banget sih liburan kok cuma sekeliling Bali, Lombok, dan sekitarnya (kaya iklan Adzan Maghrib di TV)

Ya ampun, di saat menderita gini kok aku masih bisa sombong, ya?

Jangan-jangan karma niy?

Ya ampun...., tesis-tesis..... Belum juga dinikahi kok udah bikin kehidupanku menderita sih...?
Keluh....

Monday, March 16, 2009

Gala-(ng) Premiere Ujian Kompre Mapro Angkatan IV

Telah diketok palunya, telah ditalukan bunyi genderangnya (sing durung meh kompre rasah protes), bahwa mimpi-buruk-rangkaian-ujian-kompre-mahasiswa-magister-profesi-psikologi-UGM-angkatan-empat bakal dimulai besok jum'at jam setengah dua. Siapakah perawan yang dikorbankan dalam ritual kali ini, nggak lain n nggak bukan (jadinya apa ya?), adalah GALANG YANG KATA BANYAK ORANG MENDERITA NARSIS DAN WAHAM KEBESARAN INI.....

Setelah melewati masa-masa sulit, lorong-lorong panjang, dan jalan sarkem di siang hari..... setelah bertemu dengan dosen pembimbing yang sebenarnya baek hati tapi super sibuk, mematuhi birokrasi kampus yang kadang lebay, menanti Pak Gi yang sakit untuk minta surat keterangan lulus kuliah Teknik Penyusunan Tesis, akhirnya diriku diijinkan untuk ikut ujian KOMPREHORE sekaligus nyang pertama dari angkatanku. Ini adalah sebagai perwujudan tanggung jawab sebagai ketua angkatan biar memberikan contoh tauladan bagi para teman-teman, kacung, serta peliharaannya.... , dan juga menunjukkan perilaku ksatria seperti : MENINGGALKAN KAMPUS DAN TEMAN-TEMANNYA LEKAS-LEKAS UNTUK PERGI BELANJA DI SPANYOL DAN PERANCIS. Huahahahahahaha... (setan).

Anehnya, ketika ditanya beberapa orang bagaimana perasaanku akan menghadapi ujian kompre dalam hitungan beberapa hari, aku malah bengong.... Biasa aja lagi... Ditanya-tanya lagi oleh beberapa orang seakan ingin menemukan sesuatu, "Kamu nggak deg-deg-an gitu?"

Aku nanya balik, "Emang harus ya kompre pake deg-deg-an....?" Pake pasang ekspresi muka bego-bego mahasiswa yang terancam cum-laude gitu.... Oh ya, tapi bener juga ya kata temenku.., biar agar dramatis mungkin memang aku harusnya deg-degan... Jadi sampai sekarang aku lagi cari tahu gimana caranya bikin deg-degan... Mungkin dengan deg-degan dulu presentasiku di depan dosen jadi tambah bagus kali, ya? Semoga....

Tapi ya nggak papa, pokoknya nambah-nambah bacaan aja deh biar makin siap. Entah deg-degan entah nggak, dipikir ntar aja..

Monday, March 9, 2009

Slumdog Millionaire


Jujur, aku bukannya penggemar film India. Dari yang kutahu kalo mau nyewa VCD film India, biasanya ada tiga keping: satu buat cerita, satu buat nari-nari di tengah hujan, satu buat nangis-nangis. Tapi bagaimanapun juga, sampai saat ini aku masih berpendapat kalo film India cocok buat terapi emosi. Atcha..atcha...atcha.. (sambil geleng-gelengin kepala).

Film Slumdog Millionaire yang konon udah nyabet 8 piala Oscar emang beda dari tipikal film India yang biasanya. Kalo di film India adegan narinya ada di tengah dan nyaris sepanjang film, kalo di film garapan Danny Boyle adegan narinya.......ada di akhir film (gyahahaha sama aja dunk...). Dan tahukah Anda siapa Danny Boyle itu? Dulunya saya juga nggak tahu. Soalnya kayaknya tuh orang terkenal soalnya pas Acara Penghargaan Piala Oscar -yang kebetulan aku tonton- orang-orang pada tepuk tangan ketika nama Danny Boyle dibacakan. Dan setelah aku google, ternyata Danny Boyle itu adalah sutradara dari film Sunshine, 28 Days Latter, dan The Beach (yang diperankan oleh Leonardo diCaprio dan lokasi shootingnya di pulau terpencil di Thailand). Pantas, film-filmnya memang revolusioner. Nggak heran banyak orang yang menaruh hormat pada lelaki satu ini.

Back to movie, Guys. Jadi Slumdog Millionaire ini menceritakan pengalaman seorang anak yatim-piatu berusia 18 tahun bernama Jamal Malik yang berasal dari Mumbay India. Jamal dan kakaknya, Salim, bersama-sama dengan Latika, ketika kecil berhasil melarikan diri ketika di kampungnya terjadi pembantaian terhadap etnis India Muslim. Dalam tragedi itu, orang tua ketiga anak malang itu dibunuh dengan keji.

Nah, ketiga anak itu kemudian bertemu dengan seorang laki yang sekilas tampak baik, yang menampung anak-anak yatim piatu, memberinya tempat tinggal, dan juga makanan. Tapi ternyata lelaki itu hanya memanfaatkan anak-anak itu untuk mengemis, dan hasilnya dipakai untuknya. Lelaki dan komplotannya itu bahkan tega membuat buta anak-anak malang itu agar mereka mendapatkan banyak uang.

Film Slumdog Millionaire dimulai dari adegan flash-back ketika si Jamal Malik ini mengikuti kuis Who Want's to be A Millionaire yang berhadiah 20 juta Rupee (gak pake "-ah"). Penonton dibuat terbuai (duh bahasanya..) oleh kepiawaian Jamal menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan. Kesuksesan Jamal mengundang kecurigaan host pembawa acara tersebut yang kemudian memerintahkan kepolisian untuk menginterogasi Jamal untuk membuktikan bahwa dirinya curang. Bagaimana mungkin seorang Jamal Malik, yang hanya seorang office boy yang bertugas mengantarkan minuman teh yang berwarna cokelat (kemungkinan itu adalah Coffemix, trust me I know the colour...), bisa menjawab pertanyaan yang sulit -yang bahkan profesor dan guru besar tidak dapat menjawabnya.

Pada saat interogasi tersebut, terungkaplah alasan bagaimana Jamal dapat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang ditanyakan tersebut ternyata berhubungan dengan fragmen kehidupan Jamal yang sungguh pelik. Jamal bukanlah seseorang yang jenius. Saya sangat ingat jawabannya yang lugas ketika ditanya oleh polisi, bagaimana bisa di menjawab semua pertanyaan yang diberikan di kuis tersebut.

Jamal menjawab, "Karena saya tahu jawabannya..." Keyeen....

Film itu sarat dengan ajaran moral namun hati-hati dalam menerjemahkannya. Kebetulan saya menonton film itu bersama adik saya. Dia berkomentar, "Wah ternyata nggak perlu sekolah tinggi-tinggi buat jadi sukses ya? Buktinya si Jamal..." Percayalah adik saya sedang meracau, dan saya yakin bukan itu maksud Danny Boyle menggarap film ini.

Film itu mengisahkan tentang kerja keras, perjuangan, integritas, dan semangat tak mudah menyerah. Melihat film ini dan khususnya setting tempat yang digunakan dalam film ini yaitu daerah perkampungan kumuh, saya jadi merasa tergugah untuk semakin mensyukuri kehidupan yang telah saya jalani, beserta segala suka dan dukanya. Sungguh saya tidak berhak mengeluh karena di luar sana ada banyak orang yang lebih membutuhkan ketimbang saya.

Film ini adalah film yang wajib Anda tonton. Beberapa adegan tampak klise, namun demikian sebagai penulis Anda bisa belajar sesuatu, terutama mengenai bagaimana cara alur cerita dibangun.

Thursday, March 5, 2009

Menulis untuk Pembaca

Terdapat garis perbedaan yang tegas antara aktivitas menulis sebagai hobi dengan sebagai profesi. Perbedaan ini sekilas terlihat remeh, namun titik awal ini akan menentukan nasib Anda sebagai seorang penulis. Seseorang yang menganggap kegiatan menulis sebagai suatu hobi akan menulis mengenai apa saja yang ingin mereka tulis. Apalagi sekarang kita dimanjakan dengan banyaknya fasilitas, misalnya online blog, membuat kegiatan menulis sebagai hobi menjadi mudah untuk dilakukan. Bahkan jika beruntung, Anda bisa menjadi tenar seperti Raditya ”Kambing Jantan” Dika yang sukses mengangkat kisah hidupnya sebagai seorang pelajar yang bodoh :)

Seseorang yang menulis sebagai profesi biasanya lebih selektif dalam menulis. Ketika kita bicara mengenai profesi di sini, artinya adalah kegiatan menulis tersebut memang sengaja dilakukan guna mendapatkan keuntungan secara finansial. Salah satu contoh penulis yang paling bisa mewakili kategori ini adalah Andrea Hirata. Saya pernah sekali mengikuti acara diskusi penulis dengannya. Saat itu saya mendengar satu buah kalimat yang menyentak hati saya.

”Saya tidak akan menulis buku yang tidak akan laku di kalangan pembaca”

Pertama kali saya mendengar, satu hal yang terlintas di benak saya, yaitu betapa komersilnya penulis ini! Tetapi setelah saya camkan baik-baik, perkataan itu ada benarnya juga. Bahkan malah itu adalah perkataan paling jujur dan telanjang yang bisa dikatakan oleh seorang penulis profesional. Mengapa pula kita mau bersusah payah menghabiskan waktu kita berkutat di hadapan komputer atau mesin tik apabila buku yang kita tulis tidak laku dan dibaca banyak orang? Mungkin Anda mengelak bahwa Anda menulis bukan semata-mata karena rupiah, namun membayangkan berapa puluh bahkan ratus jam kita habiskan untuk menulis buku yang sedetik pun pembaca meliriknya pun ogah, benar-benar mengesalkan!

Jika Anda menulis sebagai suatu hobi, Anda tidak perlu pusing-pusing memikirkan tentang hal ini. Tuliskan apa saja yang membuat Anda senang atau lega. Namun jika Anda adalah seorang penulis profesional, bukan kebahagiaan Anda lah yang terpenting, melainkan pembaca. Banyak rekan-rekan sesama penulis saya yang mengeluh betapa penghasilan penulis di Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan penulis di luar negeri. Di sisi lain, teman-teman editor saya di beberapa penerbitan juga sering mengeluhkan kelakuan para penulis yang suka seenaknya, menulis asal-asalan hanya karena sudah pernah menerbitkan satu atau dua buku sebelumnya, dan terkesan tidak perduli. Masing-masing saling menyalahkan satu sama lainnya. Kecenderungan penulis di Indonesia beranggapan bahwa menulis adalah suatu aktivitas yang tidak bisa dipaksakan. Menulis baru bisa dilakukan apabila kondisi mental, fisik, dan lingkungan di sekitarnya mendukung. Tak jarang hal itu malah disalahartikan. Alih-alih menjadikannya sebagai suatu rutinitas, kegiatan menulis menjadi suatu kegiatan yang bisa dilakukan kapan-kapan dan bahkan dengan sambil lalu. Pantaskah kemudian jika penulis tersebut mengeluh tentang penghasilan yang didapatkan tidak lebih besar daripada bekerja di kantor?

Karyawan mendapatkan penghasilan besar dengan bekerja, dan penulis yang menulis sambil lalu tidak akan mendapatkan penghasilan lebih besar daripada karyawan. Di manakah letak ketidakadilannya? Penghasilan yang tidak seberapa ini lantas menjadikan banyak penulis pemula yang menyerah lantas memutuskan untuk banting stir dan meninggalkan dunia kepenulisan atau masih menulis tetapi dengan ogah-ogahan. Ini adalah suatu pola pikir yang salah. Seseorang bisa menjadi penulis yang hebat jika memiliki kedisiplinan dan integritas. Mengenai hal itu akan kita bahasa pada bab yang terpisah.

Anda hanya perlu (setidaknya) satu buku untuk membuktikan bahwa perkataan saya benar. Yang Anda butuhkan hanya satu buku yang mengakhiri masa suram seorang penulis. Sebuah buku best-seller. Anda tidak harus ahli dulu untuk bisa menjadi penulis ­best-seller, Anda hanya harus tahu rahasianya

Mungkin pada detik-detik ini Anda berkata dalam hati, bahwa yang paling penting bagi Anda saat ini adalah menulis apa saja, karena nanti buku Anda akan menjadi best-seller jika kemampuan menulis Anda semakin terasah.

Hentikan! Itu adalah omong kosong, dan dalam hati Anda sebenarnya tahu itu, bukan?

Andrea Hirata adalah contoh yang paling ideal dalam menggambarkan maksud saya. Beliau mengaku tidak pernah menulis cerita fiksi sebelumnya, bahkan membaca buku fiksi pun hanya bisa dihitung dengan jari tangan. Dengan keterampilan menulis yang cekak dan tertatih-tatih tersebut, bagaimana mungkin bukunya bisa menjadi best-seller? Jika Anda menganggap bahwa Andrea Hirata adalah anomali, atau lebih buruk lagi orang yang beruntung, Anda salah besar! Andrea Hirata mungkin bukanlah seorang penulis kaliber yang banyak menyabet gelar juara di mana-mana, namun dia adalah seseorang yang benar-benar memahami bahwa tugas seorang penulis profesional adalah menjual buku.

Ya, sesederhana itu: Menjual Buku.

Lalu apakah kita akan sukses menjual sesuatu yang bagus bagi kita namun tidak bagi orang lain? Jawabannya tentu saja tidak. Oleh karenanya penulis biasanya butuh penerbit dan sepasukan editor yang bertugas menjaga agar penulis tidak terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Tidak banyak penulis yang bisa memahami bahwa penerbit sebenarnya membantu penulis yang bersangkutan bagaimana caranya agar buku yang ditulisnya diminati oleh pembaca. Tidak semua penulis yang bisa memahami pola pikir pembacanya. Masih banyak yang berpikiran bahwa untuk menjadi penulis diperlukan kecerdasan verbal dan kepiawaian dalam merangkai kata, itu saja. Faktanya, pembaca tidak akan menilai karya Anda seperti guru Bahasa Indonesia SMA menilai karangan narasi. Pembaca awam tidak akan terlalu perduli majas apa yang Anda pakai atau apakah setiap kalimat Anda diakhiri dengan rima bersajak. Kalimat yang indah bisa menjadi daya tarik sebuah karangan fiksi, namun jika Anda hanya berbekal itu saja untuk maju perang, bersiaplah pulang dengan membawa kekalahan.

Lantas, bagaimana cara kita menjual buku? Apakah kita harus membuat buku yang sangat bagus?

Apakah menurut Anda, kita bisa menjual mobil Porsche kepada orang-orang yang tinggal di pedesaan?

Tidak.

Jawabannya, adalah menjual buku yang dibutuhkan oleh pembaca. Itulah rahasia mengapa Andrea Hirata sukses “menjual” tetralogi Laskar Pelangi-nya. Pembaca menginginkan harapan dan cerita nyata mengenai sekelompok anak yang kurang beruntung secara finansial namun berjuang sekuat tenaga menjadi sukses dalam hidupnya. Cerita Ikal dan teman-temannya mengajarkan kita semangat dan sikap yang tak pernah putus asa. Cerita perjuangan diminati pembaca karena selalu dapat membangkitkan semangat, dan hal itulah yang dibidik Andrea Hirata dalam tetralogi-nya. Jadi bukanlah kebetulan jika novel-novelnya meledak. Si penulisnya telah merencanakan serta kemudian mewujudkannya. Secara sosial, novel itu jika diterima oleh kalangan pendidik dan orang tua karena menyampaikan ajaran moral, sehingga rekomendasi untuk membaca novel itu merupakan media promosi terbesar. Novel tersebut dengan cerdas telah diletakkan dalam posisi yang strategis agar orang-orang menyukainya sekaligus “merasa seharusnya” memberikan dukungan. Apa yang terjadi setelah novel itu dirilis? Koran-koran beramai-ramai memuat kisah tentang guru honorer yang tak jelas juntrungan nasibnya sebagai feature atau sekolah-sekolah di daerah terpencil yang kondisinya memprihatinkan. Bayangkan bagaimana sebuah novel bisa memunculkan gelombang kepedulian yang sedemikian hebatnya.

Bagaimana cara sebuah karangan fiksi bisa menciptakan kesadaran kolektif seperti itu? Hal itu akan saya bahas di bagian terpisah dalam buku ini. Untuk saat ini saya harap Anda mengerti bahwa tidak perlu sehebat Ernest Hemingway untuk menghasilkan karya best-seller. Anda bisa mulai dengan menyadari satu hal mendasar yang penting, yaitu: menuliskan apa yang dibutuhkan oleh pembaca Anda.

Siapakah pembaca Anda? Sebelum kita berbicara banyak tentang hal-hal yang menyangkut teknis kepenulisan, sebaiknya Anda menentukan dulu siapa target pembaca Anda. Pembaca akan menentukan ruang lingkup permasalahan, cara memandang permasalahan dan hal-hal teknis lainnya seperti gaya bahasa dan penokohan. Setiap target pembaca memiliki kecenderungan tertentu yang harus Anda tangkap. Target pembaca remaja SMA misalnya, memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai karangan yang membahasa permasalahan sehari-hari dengan gaya bahasa yang konyol, cuek, dan dinamis. Target pembaca dewasa awal, seperti misalnya mahasiswa, lebih menyukai karangan yang lebih berbobot, seperti misalnya karangan yang juga turut membahas seputar isu sosial. Buku bagi kalangan mahasiswa adalah suatu identitas, sehingga penting bagi mereka untuk meyakinkan bahwa mereka tidak akan dinilai negatif oleh orang lain karena membaca karangan yang salah.

Setelah Anda memutuskan siapa target pembaca Anda, berikut adalah tugas mandiri yang bisa Anda lakukan.

Temukan tiga buah isu atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh target pembaca Anda. Caranya bermacam-macam, bisa dengan melakukan wawancara kepada beberapa sampel target pembaca, membaca koran atau siaran berita, atau berangkat dari suatu studi kasus.

  1. ­­­­­­­­­­­­­­­_______________________________________________________________

_______________________________________________________________

  1. _______________________________________________________________

_______________________________________________________________

  1. _______________________________________________________________

_______________________________________________________________

Selanjutnya, Anda menelaah ketiga permasalahan tersebut satu-persatu menggunakan kerangka alur berpikir berikut ini:

Isu #1

Mengapa isu atau permasalahan ini bisa jadi sedemikian penting?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Isu #1

Seberapa besar kerugian yang bisa ditimbulkan?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Dua pertanyaan tersebut memungkinkan Anda untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai dampak atau akibat dari permasalahan tersebut. Dampak atau akibat inilah yang bisa Anda jadikan senjata untuk mempertajam karya fiksi Anda. Sebagai seorang penulis, Anda diharapkan untuk dapat menyampaikan dampak dari permasalahan ini kepada pembaca serta pentingnya bagi mereka untuk perduli. Begitu Anda dapat meyakinkan pembaca pentingnya suatu permasalahan, seketika itu pulalah karya Anda mendapat tempat di hati pembaca.

Marilah kita mencermati iklan-iklan yang sering bersliweran di layar televisi Anda. Salah satu iklan yang paling kentara adalah iklan produk shampo anti ketombe. Iklan-iklan ini umumnya memiliki kesamaan, yaitu menunjukkan akibat yang ditimbulkan jika seseorang memiliki ketombe, misalnya: membuatnya tidak menarik di mata lawan jenis, menimbulkan ketidakpercayaan diri, dan lain-lain. Mungkin sebelum melihat iklan tersebut, seseorang tidak pernah mempersoalkan masalah ketombenya. Segera setelah melihat iklan tersebut, seseorang menjadi tergerak untuk membeli produk shampoo tersebut karena khawatir akan mengalami hal sama yang ditunjukkan iklan tersebut.

Jika kita cermati, pada umumnya iklan memiliki pola cerita yang sama. Iklan kartu GSM menyoroti borosnya pemakaian pulsa jika tidak memakai produk keluaran miliknya. Hal ini adalah suatu hal yang dikenal secara luas di dunia pemasaran sebagai strategi untuk memunculkan kesadaran konsumen akan suatu kebutuhan. Terkadang konsumen memiliki kebutuhanyang selama ini tidak disadarinya. Adalah tugas bagi seorang ahli periklanan atau pemasaran untuk memunculkan kebutuhan tersebut pada area kesadaran, dan kemudian menyodorkan suatu produk sebagai suatu solusi. Dalam psikologi konsumen hal ini dikenal sebagai prinsip ego-defense purchasing, yaitu membeli karena seseorang percaya produk yang dibelinya adalah solusi bagi permasalahan yang dihadapinya.

Berhenti sampai di sini, kita kembali mencermati karya kita. Tidak kemudian setiap penulis diharuskan untuk menyodorkan solusi atas isu yang digarap dalam karyanya. Penulis berbeda dengan ilmuwan. Bisa jadi yang dibutuhkan penulis adalah seorang ilmuwan yang tepat, yang dengan membaca karangannya menjadi terketuk hatinya untuk kemudian menyajikan solusi. Membangkitkan kepedulian bukanlah tugas yang mudah. Seorang penulis fiksi yang handal umumnya mahir dalam hal ini.

Pertanyaan selanjutnya terkait dengan topik permasalahan yang Anda garap adalah sebagai berikut:

Isu #1

Siapakah pihak yang paling dirugikan?Mengapa?

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

_____________________________________________________________________

Dengan menjawab pertanyaan tersebut, tandanya Anda mulai masuk ke dalam area personal permasalahan yang akan Anda garap. Informasi pihak yang paling dirugikan dan alasannya membantu Anda untuk menentukan sudut pandang karangan Anda. Apakah Anda akan menceritakannya dari sisi pihak yang paling dirugikan dari suatu permasalahan, atau memilih sebagai pihak lain yang berada di dekat pihak tersebut? Setelah sudut pandang penceritaan ditentukan, Anda diharapkan untuk fokus dalam mencermati permasalahan sehingga daya cakupnya semakin mengerucut: tidak melebar namun dalam.

Jika Anda telah memutuskan pihak yang paling dirugikan, Anda dapat kemudian memfokuskan untuk meneliti hal-hal yang sifatnya unik dan pribadi. Hal-hal ini diperlukan untuk membangun keotentikan karya Anda, serta agar pembaca benar-benar masuk ke dalam dunia yang Anda bangun. Pembaca tidak akan tertarik untuk membaca sesuatu yang sifatnya hanya sekedar tempelan. Ketika seseorang membeli buku, sebenarnya tidak hanya uang yang mereka telah keluarkan, namun juga waktu yang akan mereka habiskan untuk membaca buku ini. Uang mudah dicari gantinya, namun waktu yang terbuang tidak akan kembali. Pembaca mungkin tidak akan menyayangkan uang yang telah dihabiskan untuk membeli buku, tetapi waktu yang telah mereka habiskan untuk membaca bab-bab pertama. Jika buku tersebut tidak menarik dan terkesan pasaran, kemungkinan pembaca tidak akan meneruskan membaca buku tersebut sampai habis. Pembaca tidak akan sudi menukar waktu mereka yang berharga dengan buku yang isinya kebanyakan. Tidak ada orang yang mau bertaruh jika tahu dirinya bakal kalah.

Oleh karenanya, ciptakan buku yang selain dapat memenuhi kebutuhan pembacanya juga bersifat unik. Unik bukan berarti nyeleneh atau kontroversial. Keunikan bisa pula berarti dalam; yaitu suatu buku lahir melalui proses pemikiran, investigasi, serta kontemplasi yang dalam. Keunikan juga dapat diartikan sebagai sejauh mana penulis dapat mendekati permasalahan yang akan ditulisnya.

Menulis sesuatu yang dibutuhkan oleh pembaca adalah salah satu resep menelurkan buku best-seller. Buku tersebut akan menjadi lebih dahsyat apabila di dalamnya tersirat keseriusan dan kerja keras penulis dalam mewujudkannya, salah satunya dengan cara memberikan sesuatu yang unik dan karenanya sebanding dengan waktu yang dihabiskan untuk membacanya.

Orang-orang sering berkata melahirkan atau menelurkan karya. Pernahkan terlintas di pikiran Anda mengapa kata yang identik dengan ”melahirkan” digunakan?

Karena sejatinya, penulis diharapkan dapat menghasilkan suatu karya yang telah ditunggu-tunggu dan dirindukan, sama halnya dengan bayi yang akan terlahir di dunia. Bayi sering melambangkan harapan. Seperti itulah fiksi Anda seharusnya menjelma.Menulis

Thursday, February 26, 2009

Kok felem-felem di bioskop pada garing ya??

Udah dua bulan lebih aku gak nonton felem di bioskop 21. Habis, filimnya kalo gak Kutukan Sumpah Pocong ya Kutukan Sumpah Kepang Kuda (hehehehe, sumpah ngawurnya). Tapi ya nggak juga sih, ada beberapa felem Indo, tapi berhubun aku sering dikecewain ama felem Indo, so mo nonton juga males....

Salah, ya, seharusnya aku harus lebih cinta produksi dalam negeri, ya? Bukannya gak cinta lho, tapi cintaku ini emang conditional love. Asal bermutu ya aku cinta, gitu. Huuh, padahal aku nunggu-nunggu Valkyrie, Slumdog Millionaire, Bride Wars, The Reader, Milk, atau The Curious Case of Benjamin Button, tapi mana nih felemnya gak dateng-dateng ke Yogya?! Sambel, padahal aku di udah tahu promonya di TV udah sejak lama (maklum TV-ku kan pake Indovision), tapi tahunya nyampe di kota sendiri masih boabo luamanyoo.. ampe bosen. Ya maka dari itu untuk sementara review felemku mandeg, soalnya udah jarang nonton lagi...

Btw, aku baru aja nonton Penghargaan Oscar yang paling baru (di TV lokal udah disiarin belum ya?). Nah biasanya tuh kalo pas diumumin pemenang kan semua orang bersuka cita, eeh taon ini agak-agak sendu gitu. Pas diumumin Pemenang untuk Aktor Pendamping terbaik, and yang menang Heath Ledger (nyang meninggal karena salah makan obat) di felem Dark Knight, semua langsung pada mau nangis (aku juga, apalagi setelah ngeliat Angelina Jolie nangis -pan sehati). Kalo ikutin gosip internasional, tuh aktir kan meninggal setelah minum resep obat anti depresan gara-gara stress meranin tokoh Joker di Dark Knight. N emang sih peran Heath jadi Joker nih ciamik banget, sampe aku tuh merinding bayangin kalo Joker bener-bener ada trus dunia gimana ya? Abisnya sosoknya tuh sadisnya kagak kira-kira!

Kalo belum nonton Dark Knight, rugi abis! Makanya kudu nonton, cepetan! Trus felem terbaik Slumdog Millionaire nyang ambil setting di India. Akhirnya bisa juga felem bersetting Asia nyabet penghargaan felem terbaik versi Oscar. Ikut bangga rasanya.

Oh ya balik lagi ke felem-felem di bioskop, diriku masih menunggu kepastian felem-felem yang spektakuler itu diputer di bioskop Yogya. Ya, sampai sekarang aku hanya bisa berharap. Semoga eh semoga gak harus sampe beli DVD bajakannya lagi di Jalan Mataram...

Wednesday, February 25, 2009

Nasib Dunia: Di Ujung Tanduk atau di Ujung Pena?

Penulis adalah segelintir orang yang bisa membuat perubahan pada dunia, paling tidak itu yang saya yakini hingga saat ini; dan menjadi sosok tersebut adalah cita-cita saya. Bagaimana tidak? Menghasilkan karya yang akhirnya akan dibaca orang lain sama halnya dengan menanamkan bibit pemikiran atau setidaknya renungan, yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan orang tersebut. Pertemuan dengan orang yang istimewa, seberapapun singkatnya, tidak akan membuat kehidupan kita sama lagi. Begitu halnya dengan membaca karya tulis yang istimewa. Dunia dan hidup seseorang, ibarat lingkaran yang selalu berputar. Hidup senantiasa berubah. Mengapa tidak membuat karya tulis sebagai motor penggeraknya?

Apakah semua karya tulis bisa mempengaruhi kehidupan seseorang? Tentu saja tidak semua. Hanya karya-karya tertentu lah yang bisa. Karya tersebut punya misi untuk mengubah. Karya seperti itu tidak semata-mata lahir dari kepiawaian seseorang dalam teknis penulisan atau bahkan lahir dari himpitan ekonomi, melainkan lahir dari keresahan pribadi seorang penulis. Seorang penulis harus menemukan permasalahan apa yang dihadapi oleh dunia sekaligus apa yang ada di dalamnya, lalu menuliskan pemikirannya mengenai “bagaimana sesuatu menurut saya dapat membantu menjawab permasalahan tersebut atau setidaknya meringankan penderitaan yang disebabkannya?”

Di sini saya menekankan kata “apa yang menurut saya....”, karena penulis bukanlah seseorang yang bisa menuliskan resep bagi penyakit dunia. Butuh kumpulan ilmuwan, jenius, dan pemikir besar untuk menjawab permasalahn global. Yang dilakukan oleh penulis terkadang hanyalah cukup menyentil pembaca, dengan pertanyaan terbuka dan tak terduga, sehingga menyebabkan pembaca yang sejatinya sehat tiba-tiba “merasa sakit”, dan atau sebaliknya orang yang sakit tiba-tiba merasa “sehat”. Inilah yang saya sebut dengan perubahan, yaitu: membawa seseorang ke ruang pemikiran dan imajinasi yang selama ini tidak pernah disinggahinya. Dari sentilan-sentilan kecil itu akan muncul sebuah gelombang yang besar yang akhirnya memiliki daya pengubah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita? Percayalah, jika si dukun cilik Ponari bisa menyembuhkan dengan batu kali, Anda pasti bisa melakukannya dengan lebih baik menggunakan pena

Tuesday, February 24, 2009

Main Tenis itu yang Sabar n Jangan Brutal......

Si salah satu klub tenisku (aku gabung di tiga klub tenis, if in case you were wondering...), ada fenomena yang lucu tapi kadang ngeselin juga. Jadi gini nih, lapangan tenis di tempat kami kan ada dua. Nyang satu lapangan biasanya diperuntukkan bagi para pemain senior (yang usianya uda di atas 50 tahunan n mainnya ya ampun cuma lempar-lempar bola asal nyampe ke lapangan lawan) n satu lagi lapangan khusus buat pemain yang berjiwa muda (yang gak jelas main tenis apa adu tenaga dalam. Prinsip permainannya: kalo bola gak jatuh ke lapangan kosong ya minimal jatuh ke badan lawan lah... brutal..). Nah seringnya pemain di dua lapangan itu lengkap dan biasanya saling nggak menganggu. Tapi ada beberapa hari salah satu lapangan kurang pemain, jadinya ya tetangga bisa gabung. Bisa dibayangin kekecauan yang terjadi.

Pemain-senior : "Mas kalo main nggak usah keras-keras ya, yang penting bolanya masuk dan nggak bikin lawan sakit..."
Pemain-junior : "Iya, Pak..." sambil batin mati aku!!
Trus giliran si pemain-junior mau mukul, si pemain senior teriak: "Sabar, sabar...."
Pemain junior batin, Ini main tenis apa main sabar?

Laporan pandangan mata menyebutkan bahwa ternyata meski udah senior dan mainnya relatif gado-gado antara maen tenis, badminton, n kasti dijadiin satu, ternyata para pemain senior ini paling gak suka kalah. Makanya kalo si pemain junior mukul bola, si pemain senior tuh yang ngewanti-wanti biar bolanya nggak sampe keluar lapangan. Jelas ini beban buat pemain junior yang emang hobi banget ngembat bola. Jadinya bukan main tenis, eh malah main sabar.

Jadi biasanya si pemain junior kebanyakan yang ngalah, meski kadang makan ati n misuh-misuh di dalam hati. Pokoknya ngalah deh demi pemain senior juga.., biar seneng. Nyenengin warga negara senior insya'allah banyak pahalanya.

Jadi biasanya, kalo aku mau main dengan pemain senior, biar sopan aku nanya dulu ke mereka,

"Pak, ini saya mainnya harus main pake pola permainan saya yang sekarang atau versi saya main lima puluh tahun lagi?"

Biasanya malah mereka yang geregeten sendiri dengernya. Tuh kan, aku salah lagi....

Delapan Kesalahan Umum dalam Membuat Dialog


Dialog dalam sebuah karangan fiksi berfungsi sebagai penggerak cerita selain berguna juga untuk memperkuat karakter tokoh dalam cerita. Selain itu, dialog juga dapat membuat cerita menjadi lebih dinamis. Dialog antar tokoh dalam cerita apabila dikemas bisa pula menjadi “cara halus” untuk menyampaikan pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui.

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang berhubungan dengan penulisan dialog:

1. Menulis dialog dengan kalimat-kalimat indah dan bersajak. Dialog semacam ini memang cocok bagi karakter tokoh yang memang suka berpantun, namun kurang tepat bila dikenakan pada tokoh yang hidup di lingkungan metropolitan yang berbicara serba ringkas dan cepat. Pelajaran pertama dalam membuat dialog adalah membuatnya tampak nyata seperti layaknya orang yang berbicara dalam konteks nyata. Untuk itu, penting kiranya bagi para penulis untuk aktif mendengarkan percakapan orang-orang serta dialek atau diksi apa yang sering diucapkan oleh orang-orang dengan suatu karakter tertentu. Perlu juga untuk melafalkan dialog Anda dengan suara keras untuk mengecek apakah dialog itu terdengar enak di telinga dan sudah seperti layaknya percakapan yang nyata.

2. Mengulang-ulang maksud dalam beberapa potong kalimat. Meskipun dialog sedapat mungkin dibuat agar nyata, namun dialog yang bertele-tele akan membosankan pembaca. Cukup membuat satu kalimat saja untuk menyampaikan sebuah maksud spesifik. Hal ini tentunya akan berlaku lain apabila Anda dengan sengaja ingin menciptakan kesan tokoh yang peragu atau obsesif kompulsif. Namun demikian, terlalu banyak efek justru akan berbalik menjadi bumerang bagi Anda. Dialog yang terlalu panjang juga akan menghambat pergerakan cerita. Jadi rumusnya, bijaksanalah dalam menuliskan dialog.

3. Tidak memperhatikan siapa yang berbicara apa. Sering kali kita mendapatkan beberapa dialog ditumpukkan tanpa menyebutkan siapa yang berbicara, seperti contohnya di bawah ini:

“Kamu kemarin pulang jam berapa?”
“Jam satu, kenapa?

“Oh, tidak aku hanya penasaran siapa yang membuka pintu kulkas sekitar jam sebelasan”

“Kamu yakin mendengar suara itu?”
“Ehm, iya. Tapi sekarang aku jadi agak ragu.”

“Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan hantu yang menjaga rumah ini?”


Ini sah-sah saja apabila kebetulan dialog itu hanya terjadi antara dua orang tokoh. Namun apabila tokoh yang ada lebih dari dua orang maka ceritanya jadi lain. Jika penulis tidak mencantumkan siapa yang berbicara, pembaca mungkin menjadi bingung untuk mengidentifikasi si pembicara. Namun terlalu banyak memberikan nama juga dapat menjemukan. Hal ini bias diakali dengan cara menyelinginya dengan tanda-tanda yang mengarah kepada totkoh tertentu. Seperti misalnya di bawah ini:

“Kamu pasti lupa membawa buku itu!” Tuduh Andi.

“Buku apa?” Tanya balik Rizal sambil memainkan rambutnya yang ikal.
“Buku harian Bu Nindi, Bodoh!” Andi tidak dapat menahan amarahnya.

“Oh itu…” Jawab si pemilik rambut ikal itu dengan enteng.


4. Menggunakan “dia” secara tidak cermat sehingga membuat pembaca bingung “dia” tersebut mengacu pada siapa. Hal ini sering terjadi pada dialog yang menceritakan beberapa orang. Ketika si tokoh mengatakan “dia” sebaiknya secara tepat mengacu pada sasaran yang dituju, seperti contoh di bawah ini:

“Kemarin aku bertemu dengan Dinda. Ia jalan sama cowok lain. Dito.., Na! Dito yang itu!!”
“Apanya yang heboh? Dia kan emang terkenal suka gonta-ganti pacar, kan?”

5. Melekatkan gaya berbicara yang sama kepada setiap tokoh. Tentunya setiap tokoh memiliki karakter unik. Keunikan itu juga salah satu di antaranya tercermin dari cara si tokoh tersebut berbicara. Penciptaan cara berbicara yang menjadi trademark, entah itu dari pemilihan diksi atau dialek, bagi seorang tokoh tertentu bisa membuat kehadirannya menjadi nyata.

6. Terlalu kaku dalam menggunakan narasi pengantar. Narasi pengantar yang umumnya digunakan adalah ”kata”, ”ujar”, ”tanya”, dan ”perintah”. Seperti contoh di bawah ini:

”Kita akan pergi besok,” ujar bapak.
”Pergi ke mana?” Tanyaku.

”Ke tempat kelahiran ibumu,” kata bapak.


Cobalah untuk mengeksplorasi istilah-istilah yang lain seperti misalnya: ”kilah”, ”lanjut”, ”potong”, ”tebak”, ”gumam”, ”bisik”, dll.

7. Menulis dialog terlalu panjang. Terkadang sebagai seorang penulis, kita tidak sabar untuk menyampaikan begitu banyaknya informasi kepada pembaca sehingga tanpa sadar dialog si tokoh jadi mengembang. Sebenarnya dialog yang panjang berpotensi besar untuk membunuh ketertarikan orang dalam membacanya tuntas. Panjangnya dialog juga bisa membuat suasana eksternal (setting, waktu, dll) yang coba untuk dibangun oleh si penulis menjadi kabur. Jika seandainya dialog memang dibutuhkan panjang, maka seyogyanya untuk memenggalnya menjadi beberapa bagian.

“Aku percaya ada beberapa orang yang ditakdirkan berbakat secara supernatural. Misalnya aku yang juga dianugerahi bakat cenayang. Namun aku pun masih tetap harus belajar untuk menajamkan kemampuanku. ....” Cassandra mengambil beberapa bendel dokumen dari dalam tas kerjanya.
“Menurut dokumen ini, ada beberapa macam cenayang –yang kutahu– dilihat dari cara mereka menangkap pesan dan mendeteksi keberadaan fenomena supernatural....,” sambung Cassandra. (Dipetik dari Novel ORB: Galang Lufityanto)


8. Hanya mengandalkan dialog saja untuk menciptakan situasi yang diinginkan. Penggunaan dialog yang terlalu sering, tanpa diselingin jeda penjelasan narasi, akan membuat alur cerita berjalan dengan cepat. Gaya seperti ini cocok untuk cerita detektif atau thriller. Namun untuk cerita yang sifatnya lebih umum, gaya seperti ini tidak selalu cocok. Kekurangan dari gaya dialog yang sambung-menyambung adalah kurang dalamnya pelukisan tentang situasi yang tengah terjadi. Contoh:

”Pak Hugo, mengapa Anda harus membawa..ta..tas itu? Bukannya malah semakin berat?” Tanya Roni merasa aneh melihat Hugo memanggul tas besar yang diikatkan dengan erat pada tubuhnya.
“Oh..., ini?” Hugo menjawab di sela-sela napasnya yang memburu.
“Kupikir ini akan bisa menyelamatkanku nantinya. Siapa tahu?”

Sementara itu mereka bertiga berlari semakin jauh ke dalam hutan. Malam sudah sedemikian pekat sehingga Hugo dan Rani hanya bisa mengandalkan senter dan Cassandra yang berlari mendehului mereka, dan yang secara tidak langsung telah membukakan jalan bagi mereka berdua. Cassandra melompati akar sebuah pohon yang melata lumayan tinggi di atas permukaan tanah dengan lihai seakan-akan hutan ini adalah taman bermain Cassandra sejak kecil. Hugo dan Roni lagi-lagi dibuat terpukau oleh kemampuan wanita ini.
”Seno!!” Teriak Cassandra.

Sayup-sayup terdengar suara. ”Di sini.....” (Dipetik dari Novel ORB: Galang Lufityanto)

Dengan menyelipkan beberapa pokok narasi (dalam contoh: Sementara itu mereka.....) di antara baris-baris dialog, pembaca dapat melihat adegan cerita sebagai suatu keseluruhan: karakter beserta situasi di sekelilingnya. Ini membuat pembaca mendapat bayangan yang jelas tentang adegan yang berlangsung dan merasakan emosi yang berusaha dibangun oleh si penulis. Jadi, selamat mencoba ya!

Bagaimana Cara Membuat Paragraf Pembuka yang Baik?

Banyak penulis yang masih beranggapan paragraf pembuka itu seharusnya berisi ilustrasi tempat dan kapan sebuah cerita itu terjadi. Hal ini memang penting agar pembaca paham ruang lingkup dan batasan cerita yang akan dibaca. Namu hal itu tidak selalu harus berlaku demikian. Beberapa penulis, yang lebih kreatif dan menyadari bahwa paragraf pembuka itu adalah seperti halnya "etalase" yang berfungsi untuk menarik perhatian pembaca, melakukan usaha ekstra dalam memodifikasi paragraf pembukanya. Alih-alih menggunakan metode konservatif, penulis cerita model terakhir ini menyisipkan unsur suspense, kontras/paradoks, pernyataan "yang menggelitik", dan humor ke dalam paragraf pembukanya. Berikut ini adalah beberapa contoh:

Tidak ada yang pasti apa penyebab kematian Marry Joe. Banyak orang yang menyangka dirinya mati karena bunuh diri. Namun hal itu bertentangan dengan fakta yang ada, mengingat dirinya baru saja mendapat warisan dari ayahnya sejumlah beberapa milyar rupiah. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Marry Joe dibunuh. Namun hal itu nyaris mustahil karena dirinya mati dalam keadaan kamar yang pintu serta jendelanya terkunci dari dalam. Dan ketika dirinya diketemukan mati, tidak ada orang lain yang berada di dalam ruangan itu bersamanya (suspense)

Sosok laki-laki itu benar-benar menarik perhatian. Ada yang salah pada dirinya entah disadari atau tidak olehnya. Caranya berpakaian menyiratkan bahwa dirinya tengah berperang dengan persepsi dirinya tentang usia. Celana jeans belel yang koyak di bagian lututnya serta kaos ketat yang dikenakannya benar-benar tidak pas dengan keriput-keriput pada wajahnya. Entah apa yang ada dalam benak laki-laki tua itu. (kontras)

Jika saja hidup ini segampang matematika, mungkin tak banyak orang harus terluka. Jika saja semua orang tahu bagaimana rumus mendapatkan hidup bahagia, mungkin saat ini aku bisa mengepak koperku dan terbang ke Bali untuk berlibur barang seminggu saja. Liburan hanyalah impian. Atau bahkan utopia untukku. Ketika aku berharap bisa mendapatkan waktuku sendiri, ada saja orang yang mengetuk pintu biro konsultasiku untuk memintaku menolong hidupnya. Satu yang mereka mungkin tidak tahu. Diriku pun butuh pertolongan juga. (pernyataan yang menggelitik)

Jika Anda merasa kurang nyaman dengan metode di atas dan lebih menyukai cara konvensional, yaitu dengan menggambarkan setting berlangsungnya cerita, maka setidaknya terdapat dua hal yang bisa Anda lakukan agar paragraf pembuka Anda tidak terkesan klise, yaitu: (1) memunculkan sesuatu yang ada padahal seharusnya tidak ada (seperti misalnya: pistol di laci meja guru) dan (2) menghilangkan sesuatu yang seharusnya ada (misalnya: sebuah keluarga yang anaknya hilang). Dengan cara itu pembaca akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam cerita ini. Hal itulah yang kemudian akan membuat pembaca untuk mulai membaca cerita Anda. Selamat mencoba!

Cara Membuat Judul Yang Baik


Beberapa orang berpendapat bahwa membuat judul untuk sebuah karangan fiksi itu sulitnya bukan main, tetapi ada juga beberapa orang yang berpikir sebaliknya. Judul suatu karangan, sederhananya memiliki fungsi untuk merepresentasikan garis besar cerita, apa yang membedakannya dengan karangan yang lain. Judul karangan adalah taruhan bagi seorang pengarang. Judul karangannya yang menarik dan eye-catching namun tetap tidak norak, akan membuat pembaca tertarik untuk membaca keseluruhan cerita. Namun demikian, judul tidak melulu tentang bagaimana cara membuat pembaca tertarik untuk membaca cerita Anda. Judul harus benar-benar dapat memberi batasan kondisi “here and now” cerita Anda pada pembaca. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa judul juga berfungsi untuk menyetel “mental set” pembaca agar lebih siap dalam menikmati karangan Anda. Beberapa judul telah secara tidak langsung memberi tahu pembaca seperti apa karangan yang akan mereka baca, contohnya: “Misteri Pembunuhan Si Pendekar Kampus”, “Bangkit dari Kubur, “Cintapuccino”, dll.

Namun perlu diingat bahwa judul yang berlebihan malah akan dapat menjadi bumerang bagi Anda. Judul yang “too good too be true” bisa jadi membuat pembaca khawatir bahwa isi cerita di dalamnya tidak sedahsyat “aumannya”. Karena itu sebagai penulis, kita harus berhati-hati dalam menggarap judul. Judul yang kurang baik dapat membuat pembaca meninggalkan karangan kita sebelum sempat membaca paragraph pertama. Bagi penulis, itu adalah mimpi buruk.

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan dalam membuat judul sebuah karangan.

1. Cara termudah untuk membuat judul adalah, percaya atau tidak, dengan menampilkan setting di mana atau kapan cerita itu terjadi. Karena itu banyak dijumpai karangan berjudul, “Di Lereng Bukit…..”, “Di Pantai ….., “Kisah Sedih di Malam Minggu”, dll. Saya memandang cara itu sebagai cara yang paling “kurang kreatif” dalam membuat judul. Cara itu satu tingkat lebih tinggi dari kondisi putus asa dan khawatir jika tidak dapat membuat judul yang baik. Saya hanya akan melakukan cara itu jika benar-benar sudah mengalami kebuntuan, dan agaknya semua cara yang saya lakukan untuk membuat judul yang lebih baik, gagal. Cara itu bisa berhasil baik untuk pembaca yang kebetulan punya ikatan dengan tempat atau waktu seperti yang ditampilkan di cerita itu. Namun tetap dilihat dari sisi teknik penyusunannya, saya tidak merekomendasikan cara itu. Terkadang beberapa penulis cerdik memanfaatkan tehnik ini dan dapat berhasil. Caranya adalah mengaitkan judul dengan setting yang memiliki nilai emosional tersendiri, contoh: peristiwa gempa bumi di Yogya, tsunami di Aceh, penaklukan puncak himalaya, dll. Saran saya adalah, jika Anda memang ditempatkan pada kondisi yang mengharuskan Anda menggunakan metode ini, pilihlah secara cermat setting yang ingin Anda tampilkan sebagai judul. Jangan sampai pembaca merasa bahwa setting di judul ini hanya sekedar tempelan, dan tak punya nilai urgensitas.

2. Cara terburuk lainnya untuk membuat judul adalah dengan menggambarkan dengan jelas sekali cerita Anda kepada pembaca, sehingga tanpa membaca cerita Anda pun, pembaca sudah bisa menebak akan ke mana cerita ini berakhir. Judul-judul senada : ”Tragedi....”, “Karma”, “Suatu Hari yang Sedih di….”, ”Kemalangan....”, sebaiknya tidak perlu sering-sering dipakai. Namun demikian saya tidak memungkiri ada beberapa penulis yang punya nyali untuk membuat judul ”Pembunuhan......” dan karangannya itu meledak di pasaran. Pada paragraf pertama, pembaca sudah disodori akhir cerita itu, yaitu meninggalnya ”Mr.....”. Namun demikian uniknya cerita itu mampu menggiring pembaca untuk sedikit demi sedikit membuka rahasia di balik kematian si tokoh di cerita itu. Cara itu adalah metode yang jenius, namun demikian tidak semua orang bisa melakukannya. Jika Anda tidak cukup percaya diri untuk melakukannya, cobalah cara yang biasa saja.

3. Banyak penulis yang berkonsentrasi pada rima judul yang mereka buat. Itu adalah suatu pertimbangan yang bagus, karena perpaduan bunyi yang bagus biasanya dapat menggelitik pembaca. Pembaca akan berpikir bahwa penulis yang menciptakannya pastilah seorang yang kreatif. Ini sudah cukup dijadikan jaminan bahwa cerita yang dihasilkannya pun tentu bagus.

4. Kita harus menyadari bahwa kadang kalimat yang pendek lebih efektif dan memiliki kesan lebih kuat daripada kalimat panjang yang bertele-tele. Coba saja, adakah kata makian yang terdiri dari kalimat yang panjang? Biasanya mereka malah terdiri dari dua suku kata saja. Namun demikian, jika Anda terpaksa harus membuat judul yang panjang, yakinkan bahwa Anda telah mencoba membacanya dengan keras dan juga menunjukkannya pada teman Anda, bahwa judul Anda tidak akan dipersepsikan lain. Panjangnya judul ini bisa disiasati dengan mensinkronkan bunyinya. Contohnya adalah salah satu karangan yang berjudul : ”Kutunggu Datangmu Hanya Untukku”

5. Salah satu cara kreatif dalam membuat judul adalah memunculkan suatu kontradiksi. Ini dilakukan dengan cara memuat dua atau lebih unsur yang bertolak belakang, misalnya ”You Love Me, You Love Me Not”. Dengan cara ini pembaca biasanya akan menjadi penasaran dan selanjutnya membaca karangan Anda untuk menemukan hubungan tersebut.

(Setidaknya) Tiga Hal yang harus dimiliki untuk sukses sebagai Penulis BestSeller


Salah jika kita masih beranggapan bahwa dunia sehari-hari seorang penulis hanya berkutat dengan kertas, alat tulis, atau komputer. Paradigma bahwa penulis adalah orang kesepian yang membangun dunianya sendiri di dalam pikirannya –sehingga batasan antara penulis dan penderita autis itu tipis- terbantahkan dengan makin banyaknya fenomena penulis yang menjadi seleb dadakan.

Sekitar seminggu yang lalu saya menghadiri diskusi buku Laskah Pelangi karya Andrea Hirata. Tahukan wahai kawan (sebaiknya saya mulai hati-hati menggunakan kalimat itu, karena di malam yang sama Andrea berniat untuk mematenkan kalimat tersebut), bahwa maksud kedatangan saya ke pertemuan itu adalah karena saya begitu terpengarahnya dengan kenyataan bahwa ada orang yang sebelumnya tidak punya pengalaman menulis fiksi (membaca buku fiksi sampai selesai pun hanya satu kali) berhasil membuat novel pertamanya best seller. Satu hal yang lain membuat saya penasaran, adalah bagaimana mungkin cara mengungkapkan cerita yang meledak-ledak -nyaris menurut saya tidak terorganisir dengan baik-, overlapping antara waktu saat cerita itu terjadi dengan sudut pandang penulis, panjangnya paragraph yang beresiko menimbulkan pembaca bosan, dan terjadi penggunaan istilah asing (nama latin untuk tanaman, dll) yang berlebihan bisa membuat tetralogi Laskar Pelangi bestseller?

Saya belajar bahwa tehnik menulis saja tidak bisa membuat Kita bisa menjadi penulis bestseller….

Di acara diskusi buku itu, saya dikelilingi oleh para penggemar Andrea yang mengelu-elukan. Beberapa orang bahkan sempat terang-terangan mengaku merinding melihat sosok Andrea. Saya merasa bahwa daya tarik fisik penulis adalah suatu modal, namun itu bukanlah yang utama. Saya melihat pada diri Andrea tersimpan kapasitas sebagai “ahli marketing” buku yang baik, di samping penulis tentunya.

Saya harus akui bahwa diri saya saat itu terbius oleh kepiawaian public speaking Andrea. Saya menjadi tak heran jika Laskar Pelangi akhirnya dapat terjual sebanyak tak kurang dari 500 ribu eksemplar. Sejenak saya tidak lagi meributkan tenang keterampilan tehnik penulisan Andrea yang kurang kuat. Saat itu tiba-tiba saya memaafkan kekurangannya itu sebagai sesuatu yang wajar mengingat Andrea adalah seorang mualaf fiksi (yang anehnya, malah sukses). Saya bersyukur masih ada Andrea, seorang anak muda yang cerdas, berwawasan, berideologi, dan yang lebih penting lagi adalah : punya impian.

Berkat malam itu, saya bisa merumuskan (setidaknya) ada tiga hal yang dibutuhkan agar dapat menjadi penulis bestseller :

1. Orisinalitas ide. Seorang penulis yang baik haruslah dapat menelurkan ide yang tidak bersifat kebanyakan. Penulis tersebut adalah orang yang mau bersusah payah untuk mengambil jalan memutar ketika kebanyakan orang memilih jalan yang lurus-lurus saja. Ia adalah orang yang berani menulis tentang bulan, saat orang kebanyakn tidak berani menulisnya sebelum benar-benar menginjakkan kaki ke bulan.

2. Cara pemaparan ide yang baik. Ini terkait dengan tehnik penulisan. Penulis yang baik haruslah mampu menyampaikan idenya dengan cara yang sistematis dan menarik. Penulis harus mampu bertempur melawan kebosanan pembaca, dan menang darinya. Ia adalah orang yang mampu menggambarkan bulan sehingga pembacanya merasa benar-benar menginjakkan kakinya ke bulan.

3. Kemampuan public speaking. Penulis yang baik adalah orang yang mampu untuk menumbuhkan tanggapan dari pembaca yang afirmatif. Ia adalah orang yang mampu untuk membuat pembaca mempersepsikan karangannya lebih baik daripada karya aslinya. Jika penulis tidak mampu mempresentasikan karangannya dengan baik ke hadapan publik, maka bisa jadi para pembaca yang sebenarnya potensial menjadi ragu untuk membeli. Namun penulis bukanlah penjual obat di pasar malam, yang berkoar-koar tentang keampuhan obat padahal dirinya sendiri tak yakin. Salah satu rumus untuk menjadi seorang public speaker yang baik adalah tidak ngotot, karena alih-alih dipersepsikan sebagai seseorang yang berkharisma, audiens malah akan menganggapnya kekanak-kanakan dan tidak bijaksana. Hal itu tentunya akan juga berpengaruh terhadap persepsi pembaca tentang buku yang ditulisnya. Penulis harus dapat menjual buku dengan kerendahan hati, dan ketinggian daya intelektual. Umumnya penulis yang baik berpendapat bahwa kesuksesan penjualan bukunya dikarenakan animo pembaca yang positif, ketimbang kehebatan si penulis itu sendiri. Hal ini bisa membuat pembaca merasa bahwa penulis adalah seorang yang rendah hati, dekat dengan mereka, sekaligus pintar karena mampu membidik pasar yang tepat. Para pembaca umumnya menyukai sosok penulis yang dewasa, pintar, dan bijaksana. Tetaplah optimis tanpa terkesan berlebihan. Tentunya Anda lebih suka dikenal sebagai penulis karena karyanya yang bagus ketimbang cara presentasinya yang norak, bukan?

Semoga sukses! Galang Lufityanto